Tata Kelola Gambut Lebih Menentukan
Jum'at, 09/06/2017 13:40 WIB
Kamis, 12/3/2015 9:05 WIB
Kamis, 12/3/2015 9:35 WIB
Rabu, 9/10/2013 12:00 WIB
Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terus berulang setiap tahun menimbulkan banyak kerugian. Tidak hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan, tetapi juga mengancam kehidupan manusia. Tata kelola gambut diperlukan untuk mencegah kebakaran lahan gambut.
”Faktor utama yang memicu hutan dan lahan gambut itu mudah terbakar bukan El Nino, melainkan kesalahan dalam manajemen dan tata kelola gambut,” kata Johan Kieft dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dalam Dialog dan Pengarahan Pakar tentang Kebakaran Lahan Gambut, Kabut Asap, dan Kesehatan yang diselenggarakan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, di Jakarta, Jumat (2/6).
Menurut Johan Kieft, berbagai metode yang baik dalam tata kelola gambut sebenarnya sudah diterapkan di Indonesia. Di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, misalnya, diterapkan metode sekat kanal agar gambut selalu basah. Metode itu bukan sesuatu yang baru. Namun, pengawasan terhadap tata kelola gambut masih lemah sehingga kebakaran terus terjadi.
Pada tahun ini, El Nino di Indonesia diprediksi lemah. Meskipun begitu, potensi kebakaran hutan dan lahan gambut masih tetap besar. Daerah yang paling berisiko tinggi mengalami kebakaran gambut adalah Kalimantan Tengah, kemudian Riau.
Kebakaran hutan dan lahan gambut menimbulkan kerugian besar di bidang ekonomi dan kesehatan. Kabut asap akibat kebakaran tersebut berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Dampak terhadap kesehatan itu jauh lebih besar daripada dampak ekonominya. ”Namun, tidak ada data dan angka pasti mengenai dampak kesehatan akibat kabut asap,” kata Johan Kieft.
Richard Wecker dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) mengatakan, kabut asap berdampak buruk bagi kesehatan anak-anak. Selain bisa menimbulkan gangguan pernapasan dan paru-paru, dalam jangka panjang kabut asap juga bisa memengaruhi perkembangan otak anak.
Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin mengatakan, kebakaran hutan dan lahan gambut diperkirakan menyebabkan sekitar 110.000 kematian dini setiap tahun. Kebakaran pada 2015 berdampak pada 43 juta orang dan membuat 550.000 orang dirawat di rumah sakit. Nilai ekonomi keseluruhan kerusakan yang ditimbulkan itu mencapai 16 miliar dollar AS. ”Ke depan harus ada perbaikan kapasitas manajemen risiko bencana,” ujarnya.
Mari kita jaga kelestarian lahan gambut agar dapat terus dimanfaatkan untuk kehidupan umat manusia. Selain menjaga hingga dimanfaatkan kita juga dapat melindungi diri kita dan lingkungan sekitar kita dari ancaman bencana dari lahan gambut tersebut.
Sumber: Harian Kompas, 5 Juni 2017
Di Indonesia, gambut merupakan jenis tanah terluas kedua yang tersebar di pantai timur Sumatra, pantai selatan dan barat Kalimantan, pantai selatan Papua, dan sedikit di Sulawesi, Maluku, dan Jawa. Berdasarkan Peta Tanah Indonesia (1976), gambut termasuk dalam satuan lahan rawa yang luasnya mencapai 35,0 juta Ha yang terdiri dari lahan pasang surut, lahan gambut dan lahan mineral (marin dan tawar).