top of page

Sesi Diskusi

 

  • Istilah karir merumah belum begitu banyak dikenal masyarakat awam sehingga Dewan Perumahan diharapkan dapat melakukan intervensi berupa sosialisasi atau edukasi kepada masyarakat mengenai karir merumah, serta manfaat yang diperoleh dengan menerapkan pendekatan karir merumah dalam penyediaan perumahan. Konsep karir merumah sendiri sebenarnya lebih detail daripada yang dibayangkan. Pemerintah dapat mengatur hingga ke luasan minimum rumah yang diperbolehkan untuk dimiliki oleh individu atau keluarga, sesuai dengan jumlah anggota keluarga tersebut. Meskipun demikian, di Indonesia, akan lebih efektif apabila pemerintah mengatur luasan minimum per individu karena lebih mudah untuk disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

  • Dalam menerapkan pendekatan karir merumah, diperlukan aturan yang jelas mengenai pengelolaan rumah/kamar sewa, khususnya terkait harga dan keamanan. Dengan demikian, pemilik rumah tidak bisa seenaknya menaikkan harga sewa. Keamanan juga merupakan hal yang penting karena mempengaruhi harga rumah/kamar sewa tersebut.

  • Upaya penyediaan perumahan yang dilakukan pemerintah memang masih berfokus pada MBR. Pemerintah belum sepenuhnya menangani masalah perumahan untuk non-MBR. Hal tersebut disebabkan anggapan bahwa rumah merupakan private sector, sehingga menjadi tanggung jawab masing-masing individu. Salah satu program yang sedang dilakukan pemerintah DIY adalah pembuatan rumah deret di lahan-lahan sempit yang tidak memungkinkan untuk dibangun rumah susun. Meskipun demikian, muncul masukan untuk membuat BUMD yang berfokus pada penanganan perumahan.

  • Pendekatan karir merumah bagus untuk diterapkan di Indonesia karena akan mampu menangani berbagai permasalahan terkait penyediaan perumahan. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah mengumpulkan data-data terkait kebutuhan rumah dan kelompok usianya, kemudian ditindaklanjuti dengan advokasi atau edukasi karir merumah pada masyarakat. Hal ini dapat diimplementasikan dalam skala kecil dahulu, misalnya di tingkat kecamatan, kemudian berlanjut ke daerah-daerah di sekitarnya.

 

 

Penutup
 

Diskusi kedua dalam rangkaian Serial Diskusi Dewan Perumahan DIY akan diselenggarakan pada bulan Februari 2018, dengan tema penanganan kawasan kumuh. Informasi mengenai lokasi dan waktu diskusi akan disampaikan lebih lanjut.

Catatan Diskusi dengan Dr. Ir. Mahditia Paramita, M.Sc.

Pendekatan Karir Merumah sebagai Terobosan Penyediaan Perumahan di Indonesia

Selasa, 23/01/2018 17:00 WIB

Profil Pembicara

Dr. Ir. Mahditia Paramita, M.Sc. adalah Sekretaris Dewan Perumahan DIY yang berkiprah di bidang permukiman, perencanaan perkotaan dan kebijakan publik. Beliau merupakan lulusan Teknik Arsitektur - Universitas Gadjah Mada dan Master of Human Settlements – KU Leuven, kemudian mendapatkan gelar doktor di bidang Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada. Selain menjabat sebagai direktur di Yayasan Caritra (HRC Indonesia), beliau aktif menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan pelatihan, seminar maupun workshop yang berkaitan dengan permukiman dan perkotaan.

Serial Diskusi yang diinisiasi oleh Dewan Perumahan DIY bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi antara para pemangku kepentingan di bidang perumahan dan permukiman. Diskusi pertama dalam rangkaian Serial Diskusi Dewan Perumahan DIY ini dibawakan oleh Sekretaris Dewan Perumahan DIY, Dr. Ir. Mahditia Paramita, M.Sc. Materi yang disampaikan merupakan pengembangan dari kajian yang dilakukan Kementerian PUPR pada tahun 2015 dan 2016. Diskusi ini dihadiri oleh akademisi, peneliti, institusi pemerintahan, notaris, Perumnas, Yayasan Caritra (HRC Indonesia), Yayasan Griya Mandiri, dan anggota Dewan Perumahan DIY lainnya.

Materi

Berdasarkan RPJMN 2014-2019, Indonesia mengalami backlog kepemilikan rumah sebesar 13,5 juta unit pada tahun 2014 yang ditargetkan berkurang menjadi 6,8 juta unit di tahun 2019. Meskipun demikian, jumlah backlog perumahan pada tahun 2017 masih sebesar 11,4 juta unit (Kementerian PUPR, 2017). Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang inovatif untuk menyelesaikan masalah penyediaan perumahan, salah satunya melalui karir merumah. Dengan diterapkannya pendekatan karir merumah, program penyediaan perumahan akan lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang beragam dari segi usia, pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan sosial budaya.

Pemahaman mengenai karir merumah dapat diperoleh dengan mengamati beberapa profil di masyarakat. Ibu Intan (24 tahun) telah meninggalkan rumah orang tua sejak berusia 18 untuk melanjutkan sekolah di Bandung. Setelah itu, dia sempat kembali ke rumah orang tua di Jakarta saat berusia 22-24 tahun, kemudian pindah ke Yogyakarta pada usia 24 untuk menyewa rumah bersama suaminya. Ibu Intan kembali ke rumah orang tuanya di Jakarta untuk berkunjung, sebanyak satu kali dalam sebulan. Saat ini, Ibu Intan belum memerlukan rumah milik karena ada rencana meneruskan studi di luar Yogyakarta. Sementara itu, Bapak Budi (31 tahun) meninggalkan rumah orang tua sejak berusia 20 untuk pindah ke Malang. Saat ini, dia bekerja di Yogyakarta namun tinggal di rumah sewa di Kalasan. Istrinya tinggal di Madiun, di rumah milik orang tuanya. Bapak Budi kembali ke Madiun sebanyak satu kali dalam sebulan. Dia ingin punya rumah sendiri di Madiun supaya dekat dengan orang tuanya, dan saat ini sudah mulai mencicil bahan bangunan untuk membangun rumah. Kedua profil tersebut menunjukkan fenomena pergantian rumah yang terjadi dalam kehidupan seseorang, seiring dengan perkembangan usia dan kebutuhan.

Umumnya, seseorang pada rentang usia 18-22 tahun akan keluar dari rumah orang tuanya saat melanjutkan sekolah atau bekerja. Dia akan menyewa kamar atau rumah bersama teman-temannya. Ketika menikah dan membentuk keluarga baru di rentang usia 23-30 tahun, umumnya mereka menghuni rumah sendiri, baik rumah sewa maupun rumah milik. Pasangan muda memiliki anak dan berkembang semakin besar pada rentang usia 30-45 tahun. Rumah yang dihuni pun mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan keluarga tersebut. Pada rentang usia 46-65 tahun, umumnya anak-anak sudah mulai meninggalkan rumah orang tua untuk melanjutkan sekolah, bekerja, maupun membentuk keluarga baru sementara orang tua menjadi keluarga batih (empty nester). Siklus inilah yang disebut karir merumah. Kementerian PUPR (2015) mendefinisikan karir merumah sebagai rangkaian tempat tinggal yang ditempati oleh seseorang selama hidupnya. Dua faktor utama yang mempengaruhi karir merumah seseorang adalah ekonomi dan pendidikan. Selain itu, karir merumah juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial, kelengkapan fasilitas, komposisi rumah tangga, dan karir pekerjaan.

Angka backlog kepemilikan rumah diperoleh dari jumlah KK dikurangi jumlah rumah milik. Berdasarkan konsep kepenghunian, idealnya 1 KK menghuni 1 rumah. Berdasarkan konsep kepemilikan, idealnya setiap KK memiliki rumah sendiri. Akan tetapi, apakah semua orang harus memiliki rumah? Analisis BCG (2012) menunjukkan bahwa pada tahun 2020, terdapat hampir 170 juta penduduk Indonesia (63% dari jumlah total penduduk) yang memiliki penghasilan Rp1,5 – 5 juta, sementara masyarakat baru dapat memiliki rumah apabila berpenghasilan di atas Rp5 juta. Dengan demikian, jenis perumahan yang dibutuhkan pada tahun 2020 sebagian besar adalah rumah sewa.

Diterapkannya pendekatan karir merumah akan meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan optimalisasi stok rumah. Penyediaan perumahan dapat lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Melalui pengelolaan rumah sewa, angka backlog rumah juga dapat dikurangi. Dalam pengembangan program perumahan dengan pendekatan karir merumah, MBR tetap menjadi prioritas pertama, akan tetapi perlu dilakukan antisipasi terkait penduduk usia produktif. Hal ini dikarenakan adanya fenomena bonus demografi pada tahun 2020-2030, yaitu jumlah penduduk usia produktif yang mendominasi struktur penduduk Indonesia, diikuti dengan meningkatnya kebutuhan perumahan. Kelompok usia lajang dan pasangan muda juga perlu menjadi perhatian dalam program penyediaan perumahan. Kelompok tersebut paling membutuhkan dukungan intervensi dari pemerintah karena kondisi ekonomi yang belum stabil. Kemampuan penghunian kelompok usia lajang dan pasangan muda lebih pada skema rumah/kamar sewa.

Tidak meratanya distribusi penyediaan perumahan di Indonesia antara lain disebabkan oleh penyediaan perumahan yang masih berfokus pada rumah milik, sementara sebagian besar masyarakat hanya mampu mengakses rumah sewa. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian antara pasar penyediaan perumahan dengan preferensi dan kebutuhan hunian yang berubah seiring dengan waktu. Oleh karena itu, perlu dilakukan intervensi terhadap sistem dan subsidi perumahan formal yang selama ini berlaku, meliputi variasi tipologi dan pilihan jenis kepemilikan rumah. Pendekatan karir merumah bertujuan untuk menentukan kebijakan penyediaan perumahan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat, sesuai dengan kebutuhan dan preferensi hunian. Diterapkannya pendekatan karir merumah akan mengurangi ketergantungan penyediaan perumahan terhadap pasar.

Hasil kajian Kementerian PUPR pada tahun 2015-2016 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih menganggap kepemilikan rumah sebagai pilihan utama. Sebagian besar masyarakat berharap untuk dapat memiliki rumah setelah menikah. Pada kenyataannya, kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah baru diperoleh pada usia 35-40 tahun.

Budaya yang selalu muncul di setiap kota adalah salah satu anak harus tinggal bersama orang tuanya. Hal tersebut dapat mempengaruhi jumlah penyediaan perumahan dan karir merumah penduduk lansia. Meskipun demikian, program penyediaan perumahan saat ini belum mengakomodasi rumah yang di dalamnya terdapat lebih dari 1 KK (program perumahan bagi keluarga jamak).

Contoh implementasi pendekatan karir merumah dilakukan dengan menganalisis kondisi Kota Yogyakarta. Data BPS DIY (2015) menunjukkan bahwa struktur penduduk Kota Yogyakarta didominasi oleh penduduk usia 20-24 yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas dan lebih membutuhkan rumah sewa. Angka pertumbuhan penduduk negatif, yang artinya ada potensi pertumbuhan penduduk usia lansia. Tingkat migrasi Kota Yogyakarta juga menempati peringkat ke-2 tertinggi di Indonesia. Hal ini dikarenakan Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan utama untuk melanjutkan pendidikan di Indonesia. Keluarga yang mengirimkan anaknya untuk bersekolah di Kota Yogyakarta juga ikut pindah dan membeli rumah untuk menetap, terutama orang tua yang sudah memasuki usia pensiun. Selain itu, perantau yang berasal dari Kota Yogyakarta kembali untuk tinggal di kota ini setelah pensiun, dengan pertimbangan kedekatan dengan keluarga dan biaya hidup yang relatif lebih murah dibandingkan kota-kota besar yang lainnya.

Berdasarkan pola karir merumah di Kota Yogyakarta, salah satu program yang dapat diterapkan untuk kelompok mahasiswa dan pekerja adalah kerja sama penyediaan rumah sewa dengan swasta/masyarakat melalui penerapan sistem voucher perumahan. Berbeda dengan rusunawa yang subsidinya melekat pada bangunan, subsidi pada sistem voucher perumahan melekat pada individu. Sistem voucher perumahan dapat diberlakukan secara nasional sehingga apabila individu tersebut pindah, ke kota yang berbeda sekalipun, dia tetap mendapatkan subsidi. Dengan penerapan sistem ini, mobilitas penduduk dapat diakomodasi dengan baik.

Untuk kelompok lansia, dapat dilakukan pengembangan rumah khusus lansia. Contoh rumah khusus lansia yang sudah diterapkan di Indonesia adalah rumah sehat lansia (RUSELA) di Kota Yogyakarta dan kawasan hunian khusus lansia, Senior Living D’Khayangan, di Cikarang.

RUSELA yang berlokasi di Jalan Pakel Baru Selatan, Umbulharjo, dikelola oleh pemerintah Kota Yogyakarta. RUSELA berfungsi sebagai lokasi pelayanan konsultasi kesehatan umum, gizi dan penyakit dalam bagi penduduk lansia. Landasan hukum RUSELA adalah Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pelayanan Rumah Sehat Lansia di Kota Yogyakarta. RUSELA dapat menjadi pusat kegiatan para lansia dan berpotensi menjadi cikal bakal pembangunan perumahan khusus untuk lansia. Sementara itu, Senior Living D’Khayangan yang berlokasi di Jababeka Residence, Cikarang, dikelola oleh PT Jababeka. Kawasan hunian khusus lansia ini dilengkapi dengan fasilitas konsultasi kesehatan, terapi, ruang aktivitas, salon, spa, karaoke, pelayanan restoran, dan lain-lain. Harga yang dikenakan untuk tiap lansia berkisar Rp1,8 – 2 juta rupiah dengan sistem keanggotaan seumur hidup.

Diterapkannya pendekatan karir merumah dalam penyediaan perumahan menghasilkan beberapa program baru, meliputi program fasilitasi dan pendampingan rumah sewa (rental assistance program), rumah sewa milik (rent to own), voucher perumahan, perumahan bagi keluarga jamak (multi family housing), dan rumah sehat lansia.

Beberapa pembelajaran yang diperoleh dari kajian karir merumah adalah kebijakan penyediaan perumahan sebaiknya berorientasi pada hunian (bukan rumah) dan angka kebutuhan rumah (bukan backlog), mengakomodir rumah yang dihuni lebih dari 1 KK, serta menyediakan stok rumah yang mengakomodir karir merumah masyarakat dengan lokasi terjangkau. Diperlukan pula analisis eksternal dan internal dari sisi politik dan arah kebijakan, yang hasil akhirnya akan mendukung pembatasan kepemilikan dengan mengatur jangka waktu HGB Rusun selama 60-90 tahun untuk kebijakan yang berpihak pada keadilan akses hunian bagi seluruh masyarakat. Untuk itu, diperlukan penguatan lembaga yang berfungsi sebagai pengelola stok rumah (off-taker), pengelola rumah publik dan pembina pemeliharaan lingkungan perumahan.

Saat ini, terdapat ketimpangan antara penanganan rumah milik dan rumah sewa. Ada banyak lembaga yang menangani rumah milik, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun swasta. Sementara itu, rumah sewa hanya ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah. Padahal, apabila melihat kondisi riil melalui pendekatan karir merumah, bobot kebutuhan rumah sewa lebih berat jika dibandingkan dengan rumah milik. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kelembagaan melalui pengembangan intermediari rumah sewa.

Strategi ini dilakukan dengan membentuk institusi penghubung (intermediari) yang menjembatani pemilik rumah dengan pengelola rumah, kemudian pengelola dengan pengguna rumah. Hal ini untuk mengakomodir perubahan orientasi dari rumah milik ke rumah sewa, sehingga perlu adanya intermediari yang memudahkan calon pengguna rumah untuk mendapatkan rumah sewa yang sesuai dengan kebutuhannya. Ke depannya, bisa dikembangkan aplikasi dengan sistem seperti Go-Jek atau AirBnB. Diperlukan pula regulasi yang jelas untuk mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan rumah sewa.

Please reload

bottom of page