Permasalahan pemenuhan air bersih bagi masyarakat Gunungkidul, saat musim kemarau menjadi lagu lama yang terdengar di telinga. Mulai dari membeli air tangki dengan biaya yang tidak sedikit bagi ukuran kantong masyarakat pedesaoan hingga terpaksa menggunakan air telaga yang keruhpun dilakukan. Adalah Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Karangrejek merupakan daerah tandus dan miskin. Namun, kini sebutan itupun hilang. Melalui Saluran Pembuatan Air Minum Desa (SPAMDes), pemenuhan air dapat teratasi. Tak hanya air, unit usaha dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Karangrejek, mampu memberikan sumbangsih bagi Pendapatan Asli Desa (PAD) setempat. Layak disebut luar biasa, desa yang masuk kategori desa tertinggal ini menjadi desa percontohan nasional sebagai pengelola penyedia air minum secara swadaya.
Ton Martono, Direktur BUMDes Karangrejek mengutarakan, tahun 2008 cikal bakal Perusahaan Daerah Air Minum Desa (PDAM Desa) Karangrejek berdiri. Saat itu Desa Karangrejek merupakan daerah IDT (Inpres Daerah Tertinggal). Menurutnya, keberadaan PDAM desa mampu mengairi tiga desa disekitarnya, yakni Desa Siraman, Desa Duwet dan Desa Baleharjo. Selain itu, PDAM desa ini telah memiliki 1.280 pelanggan.
Awalnya sumber air dipetakan dan titik gravitasi tertinggi diidentifikasi oleh mahasiswa KKN UGM tetapi muncul permasalahan bagaimana mengebor sumur dengan kedalaman 150 m di bawah tanah untuk kapasitas 20 liter/ detik. Proses pengeboran tersebut memerlukan alat berat dan tenaga ahli yang setelah dihitung membutuhkan dana Rp 800 juta. Apa daya uang tidak cukup. Uang ditangan hanya 10 juta rupiah. Pengurus melakukan langkah nekad, semua sertifikat tanah pribadi milik pengurus dikumpulkan. Ada satu lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman, dengan bunga yang sangat tinggi. Dibantu Kementerian Pekerjaan Umum dan Satuan Kerja Pengembangan dan Pengelolaan Air Minum DIY, pengeboran sumur berhasil dilakukan di Padukuhan Karangduwet. Proyek itu, beserta tempat penampungan air atau reservoir kapasitas 50.000 liter menghabiskan biaya hingga Rp. 860 juta.
Pelanggan pertama 150 sambungan air, tahun demi tahun bertambah, pada 2010 menjadi 400 Kepala Keluarga (KK), 2011 menjadi 600 KK, 2014 menjadi 989 titik, hingga 2018 mencapai 1.280 pelanggan. Tak hanya di Karangrejek saja, sambungan air Tirta Kencana ini menyasar desa sekitarnya di Siraman, Baleharjo dan Desa Duwet. Tiap sambungan rumah pelanggan baru warga Karangrejek, dikenakan biaya Rp. 750.000, mendapat fasilitas meteran air, pipa 2 lonjor ukuran 8 meter dan 2 titik kran serta pengerjaan ditangani petugas yang ada. Keunggulan layanan usaha Pengelola Air Bersih (PAB) Tirta Kencana, jauh lebih murah dibanding layanan yang diberikan PDAM. Kewajiban pelanggan PAB Tirta Kencana setiap meter kubik, hanya Rp, 2.500, lebih murah dibandingkan dari tarif PDAM yang mencapai Rp, 4.000. Sedangkan 20-30 Rp. 3.500, serta 30 meter kubik keatas barulah diberi kewajiban membayar Rp. 4.000 per meter kubik.
Hebatnya sistem manajemen BUMDesa Karangrejek membuat perusahaan milik desa ini mampu membukukan keuntungan hingga Rp. 74juta per-tahun. Karena dijalankan oleh BUMDesa, warga juga lebih mudah mengontrol kinerja manajemen pengelolaan unit usaha ini, sehingga manajemen relatif aman dari kemungkinan korupsi dan lainnya. Kehebatan Karangrejek utamanya SPAMDes mengelola air minum inilah yang membuat desa ini ramai dikunjungi desa lain yang ingin belajar, mengenai manajemen pengelolaan BUMDesa.
Dua keuntungan yang didapatkan desa adalah membuat masyarakat terbebas dari masalah kebutuhan dasar yakni air sekaligus memperoleh keuntungan benefit karena unit usaha ini sesungguhnya sangat potensial mendatangkan laba. “Kami sudah memberikan PADes murni Rp 74 juta per tahun dari Sisa Hasil Usaha (SHU), terdiri dari 30 persen untuk PADes, 40 persen pengelolaan dan operasional, 10 persen dana pendidikan, 5 persen untuk dana social, 5 persen dana cadangan," ujarnya. Dijelas Martono, untuk dana pendidikan tersebut disalurkan kepada pelajar mulai dari jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) bagi orangtuanya yang tidak mampu. Sudah puluhan siswa pandai yang kurang mampu diberi beasiswa untuk dapat melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Kemudian dana sosial diperuntukan bagi masyarakat miskin yang tidak bisa membiayai rumah sakit, tidak punya BPJS, jamkesmas, dan lain-lain. Masyarakat tersebut diantar ke rumah sakit menggunakan Ambulance milik BUMDes, kemudian pembiayaan rumah sakit dibayar BUMDes.
Tak ada yang mustahil, semua serba mungkin berkat dana desa dan BUMDes. Dari desa yang paling miskin, menjadi desa yang kaya. Air adalah karunia Tuhan yang harus dimanfaatkan untuk kebaikan umat. (DP/HRC)
Foto: Google Maps