top of page

Konsolidasi Tanah dalam Sistem Kerja dan Manajemen Proyek di Jepang [bag.2]

Konsolidasi Tanah dalam Sistem Kerja dan Manajemen Proyek di Jepang disampaikan oleh Kunika Mizuno, Kyoto University

Terdapat perbedaan kondisi tren demografi antara Jepang dan Indonesia yang cukup signifikan. Jumlah penduduk di Jepang kini menurun.

 

Di negara-negara Asia, rasio penduduk berusia lanjut semakin bertambah tiap tahunnya. Jepang adalah yang tertinggi.

 

Pengeluaran pemerintah Jepang semakin bertambah untuk jaminan sosial, namun semakin menurun untuk pembangunan dan pekerjaan umum

 

Tiga poin utama permasalahan perkotaan di Jepang adalah penurunan jumlah populasi, rasio penduduk berusia lanjut, dan penurunan sumber dana untuk pekerjaan umum. Permasalahan-permasalahan tersebut memunculkan urgensi untuk memanfaatkan dana yang terbatas untuk pembangunan berkelanjutan. Beberapa kondisi memang berbeda dengan di Indonesia, yang menjadi kesamaan adalah kekurangan sumber dana dari pemerintah lokal untuk pembangunan.

 

Presentasi ini terbagi menjadi dua bagian dari dua studi kasus yang berbeda. Tujuannya adalah untuk memahami skema proyek LC sehingga bisa mencari metode penerapan yang konkret

 

Pada kasus pertama, penggunaan lahan berubah dari fungsi pertanian menjadi permukiman. LC dilakukan untuk membuat pusat kegiatan baru dan meningkatkan nilai lahannya.

 

Konsep dasar proyek LC adalah meningkatkan fasilitas publik dan mendukung pemanfaatan wilayah permukiman. Sejak tahun 1970 hingga 2014, pencapaian LC di Jepang adalah 218.000 hektar.

 

Karakteristik LC di Jepang terdiri dari tiga elemen sebagai berikut: 1. Pengaturan ulang tanah sesuai dengan rencana proyek. 2. Pendanaan swadaya dari tanah umum dan tanah pribadi yang ada sebelum LC. Tanah cadangan dijual untuk mengimbangi pengeluaran. 3. Penyediaan infrastruktur seperti jalan, drainase, dan taman.

 

Karakteristik LC di Jepang terdiri dari tiga elemen sebagai berikut: 1. Pengaturan ulang tanah sesuai dengan rencana proyek. 2. Pendanaan swadaya dari tanah umum dan tanah pribadi yang ada sebelum LC. Tanah cadangan dijual untuk mengimbangi pengeluaran. 3. Penyediaan infrastruktur seperti jalan, drainase, dan taman.

 

Bentuk tanah yang tidak beraturan diatur ulang. Melalui pendanaan swadaya, proyek LC dilaksanakan dengan meningkatkan performa infrastruktur.

 

Di Kota Nagakute, LC dilaksanakan oleh pemilik lahan sendiri untuk menyelesaikan permasalahan lahan yang terbengkalai, hutan yang rusak dan pembuangan limbah secara ilegal.

 

Dana LC di Jepang berasal dari subsidi nasional, subsidi kota, cadangan tanah, dan lain-lain. Dana terbesar diperoleh dari nilai cadangan tanah.

 

Aktivitas seperti mengamati serangga dilakukan untuk meningkatkan daya tarik dan nilai wilayah tersebut.

 

Untuk meningkatkan daya tarik dan nilai suatu wilayah, dilakukan aktivitas konservasi alam seperti yang tertera dalam tabel.

 

Untuk meningkatkan daya tarik dan nilai suatu wilayah, dilakukan aktivitas konservasi alam seperti yang tertera dalam tabel.

 

Selain LC, terdapat metode renovasi penataan kota (machi zukuri). Metode ini dilakukan dengan merevitalisasi bangunan tua dan ruang kosong yang bisa memberi dampak bagi lingkungan sekitar. Renovasi ini tidak mengandalkan bantuan biaya dan subsidi, tapi melibatkan investor swasta.

 

Alur perencanaan proyek renovasi tercantum pada poin 1-7.

 

Ruang yang rusak dan terbengkalai kemudian direnovasi agar ruang tersebut dapat ‘dimanfaatkan kembali’.

 

Jumlah pejalan kaki di jalan Uo Machi meningkat setelah proyek renovasi.

 

Proyek ini juga melibatkan partisipasi warga kota, salah satunya kegiatan merenovasi sekolah bersama-sama.

 

Ada beberapa perbedaan antara proyek konsolidasi tanah dan proyek renovasi kota, yaitu: • Dalam proyek konsolidasi tanah, metode manajemen finansialnya adalah dengan menciptakan tanah cadangan yang dapat dijual. LC dilakukan atas inisiasi pemilik lahan dan penduduk lokal. Peningkatan daya tarik dan nilai wilayah diupayakan melalui aktivitas konservasi alam. • Dalam proyek renovasi penataan kota, metode manajemen finansialnya adalah dengan mengumpulkan investasi cepat. LC dilakukan oleh investor swasta dengan melibatkan masyarakat melalui pengajuan proposal proyek.

 

Manajemen keuangan dan partisipasi warga kota merupakan dua poin penting dalam mewujudkan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.

 

Sesi Diskusi

Diskusi berjalan dengan membandingkan LC yang ada di Jepang dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Selain menguntungkan pengusaha dan pengembang, pertanyaan mengenai mungkinkah LC di Indonesia bisa keluar dari pola pikir jual-untung, membuat masyarakat tetap memiliki asetnya (tidak menyingkirkan warga), bahkan bisa diuntungkan oleh proses LC itu sendiri, dan memperoleh keterlibatan penuh masyarakat, menjadi bahasan menarik. Perlu pula diakui bahwa perencanaan kota di Indonesia menjadi hal sulit karena pertumbuhan kota-kota yang begitu organik tanpa perencanaan. Selain itu, sudah seharusnya menjadi peran pemerintah untuk bisa merangkul semua pihak: baik pengembang, konsultan, maupun komunitas.

Di Indonesia, LC baru dilakukan oleh pemerintah dan belum bisa melibatkan sektor swasta. Harus diakui, pemerintah memiliki banyak keterbatasan baik dari segi pembiayaan maupun kapabilitas pengetahuan mengenai mekanisme LC. Padahal, menurut Kunika, justru keterlibatan banyak pelaksana lain seperti pihak swasta dan komunitas yang menjadikan LC populer di Jepang.

Di sisi lain, Yogyakarta yang memiliki “tanah sultan” dengan prinsip pemanfaatan sebesar-besarnya untuk rakyat bisa menjadi keuntungan. Inisiasi-inisiasi komunitas untuk menata diri seperti di Kalijawi dan di Kampung Code juga sudah mulai muncul. Potensi untuk melaksanakan LC bersama komunitas sebenarnya sudah ada. Yang menjadikan LC sulit adalah belum adanya pola pikir kebermanfaatan bersama dan kecenderungan untuk “memiliki” aset individual. Sering pula terjadi miskomunikasi dan saling menggantungkan antara komunitas dan pemerintah sehingga inisiasi dan inovasi menjadi terhambat.

Di Jepang, LC diimplementasikan oleh banyak kemungkinan pelaksana dan bisa berbeda-beda di tiap kasus. Di kasus pertama (Nagakute), LC diinisiasi oleh komunitas sendiri. Prosesnya dibantu oleh pemerintah daerah, dan memang harus sesuai dengan dokumen rencana daerah yang ada. Inisiasi-inisiasi pun bisa masuk ke dalam perencanaan ke depannya dan terepresentasikan dalam masterplan kota. Di Jepang, masyarakat sudah berpikir untuk bagaimana meningkatkan nilai tanah dan aset mereka bersama-sama.

Perbedaan yang cukup mencolok di antara Indonesia dan Jepang berasal dari perbedaan kondisi di kedua negara, terutama jumlah penduduk dan kondisi ekonomi. Indonesia masih memiliki permasalahan-permasalahan dasar perumahan, yakni kekurangan rumah dan permukiman kumuh. Tanah-tanah di kawasan padat perkotaan masih memiliki urgensi untuk pelaksanaan LC. Di sisi lain, Jepang justru mempunyai masalah berupa jumlah penduduk yang semakin menurun sehingga LC dilakukan untuk menarik dan membangkitkan aktivitas, serta merevitalisasi bagian-bagian kota yang terbengkalai.

Kondisi Indonesia saat ini dialami Jepang dahulu pasca perang dunia kedua. LC di Jepang kini sudah tidak lagi berfokus pada penataan kawasan padat, dan trennya memang sudah menurun. Di Indonesia, mempopulerkan pola pikir untuk penataan ulang masih menjadi tugas bersama. Belajar dari Jepang di tahun 1970-an, peninjauan kebijakan perumahan dan peran pemerintah menjadi kunci utamanya. Regulasi LC harus detail dan tegas. Orientasi pada proses dan penguatan organisasi di dalam komunitas juga menjadi poin penting agar LC dapat berlanjut.

 

Halaman 1 2

bottom of page