Rembug Warga adalah salah satu bagian dari rangkaian Festagama 2018 yang menjadi medium yang memungkinkan (dan mendorong) adanya transfer pengetahuan perkotaan antar warga, akademisi dan periset, aktivis dan gerakan perkotaan, melalui dialog yang memantik proses-proses menumbuhkan rasa kewargaan untuk mengembalikan esensi hak atas kota itu sendiri.
Acara tersebut dilaksanakan tanggal 12 Mei 2018 di Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM. HRC Caritra berkontribusi dalam kegiatan tersebut sebagai narasumber dengan paparan yang bertema “Hak Warga Kota akan Hunian Layak”.
Seluruh warga kota memiliki hak untuk bertempat tinggal di lingkungan yang baik dan sehat, mengakses hunian yang layak dan terjangkau, memperoleh jaminan keamanan bermukim, memperoleh jaminan aman dari bencana, serta mengakses layanan dasar dan infrastruktur. Meskipun demikian, 5 dari 10 orang warga Indonesia yang tinggal di perkotaan menghuni rumah tidak layak huni, dan 10% (38.431 Ha) dari wilayah perkotaan merupakan kawasan permukiman kumuh.
Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi menyebabkan peningkatan kebutuhan akan hunian, sehingga harga lahan dan hunian meningkat. Minimnya perencanaan terkait penyediaan perumahan, layanan dasar dan infrastruktur pada kondisi ini berakibat pada terbentuknya permukiman informal.
Penghuni permukiman informal merupakan debu emas ekonomi perkotaan (golden dust urban economy). Penghuni permukiman informal berpotensi menunjang pertumbuhan ekonomi kota, melalui pengisian posisi dan peran sosio-ekonomi informal. Golongan pekerja dari penghuni permukiman informal melakukan pekerjaan-pekerjaan krusial untuk menjaga kebersihan kota, membangun infrastruktur, dan menggerakkan usaha ekonomi informal.
Akan tetapi, apakah permukiman informal selalu ilegal?
Kampung-kampung di Yogyakarta dulunya dibagi dalam dua wilayah berdasarkan letaknya, yaitu Jeron Beteng dan Jaban Beteng. Penataan dan penamaan kampung didasarkan pada kesamaan profesi yang banyak ditekuni oleh warganya, keahlian yang dimiliki, kedudukan dalam pemerintahan, hingga nama kesatuan pasukan prajurit.
Kampung-kampung di Yogyakarta pada awalnya merupakan permukiman formal, namun tidak direncanakan untuk menampung kepadatan yang tinggi. Pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta berkembang dengan cepat. Pada tahun 1930, jumlah penduduk Kota Yogyakarta 136.554 jiwa. Pada tahun 2015, jumlah penduduk Kota Yogyakarta 411.440 jiwa. Ketika kampung berkembang, penambahan rumah-rumah menjadikan lingkungan tidak lagi tertata dan kualitasnya menurun.
Melalui perencanaan masa depan kampung, kebutuhan warga dapat diwadahi dan identitas kampung dapat ditunjukkan sesuai dengan karakter kawasan. Perencanaan kampung meliputi perencanaan kawasan, daya beli, keamanan bermukim, infrastruktur, pembiayaan kawasan dan perumahan, serta konstruksi rumah.