top of page

Bincang Buku "Geliat Masyarakat Kali Code, Nadi Jogja nan Istimewa"


Kali Code memiliki sejarah panjang dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sejak dahulu, Kali Code telah banyak dimanfaatkan pemerintah dan masyarakat, baik untuk irigasi, air minum, maupun pemenuhan kebutuhan lain akan air. Selain itu, sebagai sungai yang berhulu di Gunung Merapi, Kali Code adalah satu-satunya sungai yang terkena dampak erupsi berupa banjir lahar dingin. Ekosistem sungai dan sejarah yang dimiliki Kali Code menjadikan sungai ini sangat vital dalam perkembangan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Cerita tentang pergerakan Kali Code tidak akan terlepas dari peran para penggiat yang dengan sepenuh hati mencurahkan tenaga, pikiran, dan waktu demi terwujudnya lingkungan sungai yang lebih bersih dan tertata, serta lebih berdaya secara sosio-kultural.

 

Narasumber

Bincang buku ini dimoderatori oleh Endah Dwi Fardhani, ST dari Yayasan Caritra (HRC Indonesia), dengan 3 narasumber sebagai berikut:

  • Ir. Rini Untari, M.Si dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)

  • Ir. Reni Anggraeni, M.Sc dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) DIY

  • Drs. Totok Pratopo dari Pemerti Kali Code


Materi Pengantar: Sekilas Isi Buku “Geliat Masyarakat Kali Code”

 

Isi buku ini terbagi dalam 5 bab. Bab pertama menceritakan pergerakan warga di kawasan Kali Code, dimulai dari masa kerajaan Mataram Islam, Kali Code di masa kini, hingga harapan di masa mendatang. Bab kedua menceritakan dinamika ekonomi, sosial dan budaya di kawasan Kali Code, serta bagaimana warga di kawasan tersebut merespon bahaya vulkanik, mengingat Kali Code merupakan satu-satunya sungai di DIY yang berhulu di Gunung Merapi. Bab ketiga berisi cerita para tokoh penggiat pelestarian Kali Code. Bab keempat bercerita tentang beberapa kampung yang ada di sepanjang Kali Code. Bab kelima menceritakan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan atau diinisiasi masyarakat untuk melestarikan Kali Code.

 

Sejak dahulu, sumber air Kali Code telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintah dan penduduk untuk pertanian dan air minum. Pada masa kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kali Code menjadi salah satu batas lokasi ibu kota kerajaan.

 

Pada tahun 1950-1970, Kali Code masih menjadi sumber kehidupan warga melalui perannya sebagai sumber mata air, sekaligus tempat bermain, rekreasi dan berkumpul. Suasana di Kali Code masih teduh karena ditumbuhi berbagai macam jenis pohon, dengan air yang masih bening. Meskipun terjadi banjir, baik karena hujan lebat maupun lahar dingin, banjir hanya merusak sarana mata air atau pancuran, tidak sampai merendam rumah. Kerusakan akibat banjir segera diperbaiki bersama-sama oleh warga.

 

Di masa kini, kawasan Kali Code telah dipenuhi oleh hunian yang tidak teratur dengan kepadatan tinggi. Kualitas lingkungan semakin menurun, salah satunya disebabkan oleh perubahan fungsi sempadan sungai. Sempadan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung berubah menjadi permukiman. Hal ini juga berdampak pada tumbuhnya budaya dan perilaku kurang menghormati sungai.

 

Buku Geliat Masyarakat Kali Code ini menceritakan tentang harapan-harapan warga mengenai Kali Code di masa depan, antara lain air sungai dapat bebas sampah dan bebas bau; kondisi sungai dapat kembali baik, sehat, nyaman dan aman; tersedia fasilitas publik dengan kondisi baik; serta ada jalan masuk ke setiap kampung.

 

Di masa depan, diharapkan permukiman di kawasan Kali Code dapat tertata dengan baik, salah satunya melalui pembangunan kampung susun. Kali Code juga diharapkan dapat menjadi lokasi penyelenggaraan event-event berkualitas, antara lain pameran seni instalasi, pameran lukis, festival lampion, dan lain-lain.

 

Peta risiko banjir lahar dingin tersebut menunjukkan daerah-daerah yang rawan terdampak bencana vulkanik di kawasan Kali Code. Daerah dengan warna merah berarti berisiko tinggi, oranye berarti risiko sedang, dan merah muda berarti risiko rendah. Padahal, bagian sempadan Kali Code merupakan kawasan padat penduduk dan diperkirakan perlu ±8,5 tahun untuk normalisasi pasca erupsi. Selain itu, di setiap musim penghujan, kampung-kampung di bantaran Kali Code masih menjadi langganan banjir.

 

Buku ini merekam jejak peristiwa banjir besar yang terjadi di kawasan Kali Code pada rentang tahun 2010-2015. Pada tahun 2010, terjadi banjir lahar dingin berupa material Gunung Merapi. Tahun berikutnya, dilakukan proses pengerukan dan jual beli material pasir yang menjadi salah satu sumber pemasukan warga. Pada tahun 2012, dilakukan upaya edukasi masyarakat, antara lain melalui simulasi kebencanaan banjir dan pembentukan Kampung Tangguh Bencana.

 

Pada tahun 2014, kembali terjadi banjir lahar dingin, tetapi warga sudah lebih siap berkat adanya edukasi dan sosialisasi mitigasi bencana. Adanya jalur evakuasi dan titik-titik kumpul memudahkan warga dalam melakukan evakuasi secara mandiri. Trauma warga pun kian berkurang meskipun kerusakan dan kerugian yang terjadi cenderung sama dengan tahun 2010. Setahun kemudian, kembali terjadi banjir yang disebabkan luapan air dari saluran drainase.

 

Cerita tentang sejarah Kali Code tidak dapat dipisahkan dengan para penggiatnya. Salah satu penggiat yang legendaris adalah budayawan, arsitek dan rohaniwan Romo Mangun. Dengan lantang, Romo Mangun menolak rencana penggusuran 30-40 keluarga yang menghuni permukiman kumuh Gondolayu pada tahun 1980-an, kemudian mendampingi warga untuk memperbaiki permukimannya. Upaya pelestarian Kali Code terus berjalan secara berkesinambungan, bahkan sepeninggal Romo Mangun. Warga yang aktif dalam pelestarian Kali Code selanjutnya membentuk komunitas-komunitas penggiat yang mewakili berbagai wilayah di tepian Kali Code. Beberapa komunitas tersebut antara lain Boyong Atas, Boyong Selatan, Pemerti Kali Code, Dewo Bronto, Code Boyong Muda, Code Bantul, dan KOMPAC (Komunitas Peduli Code).

 

Aliran Kali Code membentang dari utara ke selatan DIY, melalui wilayah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, hingga wilayah Kabupaten Sleman. Pembahasan dalam buku ini berfokus pada beberapa kampung yang ada di wilayah perkotaan, yaitu Kampung Jetisharjo, Cokrokusuman, Ledok Tukangan, Tegal Panggung, Sayidan, Karanganyar, dan Keparakan Kidul. Kampung-kampung lain yang ada di sepanjang Kali Code akan dibahas dalam buku selanjutnya. Harapannya, hasil penjualan buku ini dapat digunakan untuk penyusunan buku kedua.

 

Nama kampung Jetisharjo bermakna tanah di daerah tersebut subur karena adanya sumber air. Jetisharjo berpotensi untuk dikembangkan sebagai kampung wisata hijau berbasis sungai. Terdapat pengelolaan air bersih, bersumber dari Kali Code, yang didistribusikan ke rumah-rumah warga dengan biaya terjangkau. Salah satu event yang diselenggarakan di Jetisharjo adalah Code Night Festival, berupa panggung di atas Kali Code dengan berbagai atraksi budaya dan edukasi lingkungan, selancar di Kali Code dengan menggunakan ban (tubing), serta kuliner yang beraneka ragam. Di Jetisharjo, terdapat bangunan-bangunan heritage yang potensial dikembangkan. Dari segi budaya dan seni, Jetisharjo memiliki potensi seni grafiti, keroncong, tari, dan lain-lain. Selain itu, dari segi kuliner, terdapat usaha pengolahan makanan.

 

Nama kampung Cokrokusuman berasal dari nama KRT Cokrokusuman, abdi dalem keraton yang bertugas memberi makan burung-burung. Kampung ini berpotensi dikembangkan sebagai kampung budaya dan seni, dengan adanya hadrah (nasyid), safaran (kirab budaya di bulan Safar), tari klasik tradisional, sulam wayang, jatilan, keroncong, pasu budaya, dan lain-lain. Adanya kerajinan tas daur ulang sampah, tas kulit, dan korase manten menjadi potensi Cokrokusuman sebagai kampung kreatif. Dari segi kuliner, terdapat home industry sate ayam, sate udang, cotot, bakpia, angkringan, dan lain-lain.

 

Nama kampung Ledok Tukangan berasal dari dua kata, yaitu ledok dan tukangan. Kata Ledok berasal dari adanya ledokan (semacam parit atau lembah), sementara kata Tukangan berasal dari sejarah bahwa dulunya kawasan ini merupakan tempat tinggal para tukang kayu (blandhong) yang bekerja di Stasiun Lempuyangan. Kampung ini memiliki potensi kesenian tradisional berupa ketoprak, reog, keroncong, karawitan, dan lain-lain; serta potensi kesenian modern berupa musik akustik, akapela, dan paduan suara. Di setiap pekarangan warga juga terdapat tanaman buah-buahan, tanaman hias, dan pohon perindang.

 

Nama kampung Sayidan berasal dari kata “sayid” dan akhiran –an yang menunjukkan tempat, sehingga dapat diartikan sebagai tempat tinggal kelompok etnis dari Arab. Kampung ini potensial untuk dikembangkan karena lokasinya yang strategis di tengah Kota Yogyakarta. Terdapat kegiatan rutin tahunan berupa pasar tiban kuliner di sepanjang bantaran Kali Code, berupa panggung atraksi budaya dan wisata air. Kerajinan lokal yang potensial antara lain usaha sablon, kerajinan tempurung, dan makanan tradisional brondong. Kampung ini juga memiliki bangunan cagar budaya sebagai identitas kampung.

 

Berbagai kegiatan yang diiniasi oleh komunitas telah dilaksanakan dalam rangka melestarikan Kali Code. Beberapa kegiatan diantaranya adalah aksi bebas sampah, pembibitan untuk penghijauan, budidaya ikan air tawar, susur sungai, kampung wisata, pengembangan infrastruktur sungai, kampung tangguh bencana, dan Sekolah Sungai. Aksi bebas sampah dilaksanakan untuk menjaga kebersihan sungai. Harapannya, aksi ini dapat terus berlanjut dan mampu menciptakan kebiasaan bersih dengan tidak membuang sampah sembarangan, baik warga Kali Code maupun siapa saja yang menginginkan DIY yang nyaman dan sehat.

 

Penghijauan dilakukan di kanan kiri bantaran Kali Code, untuk menyimpan cadangan air tanah, mencegah banjir, mencegah erosi, mengurangi derasnya arus sungai, dan lain-lain. Budidaya ikan air tawar pun mulai dikembangkan di bantaran Kali Code.

 

Program susur sungai bertujuan mengajak generasi muda untuk bersama-sama belajar dan peduli terhadap lingkungan sekitar, khususnya Kali Code. Rute program susur sungai ini sepanjang kurang lebih 20 kilometer, dimulai dari Jembatan Gemawang, Kabupaten Sleman, kemudian menyusuri sungai di wilayah Kota Yogyakarta dan diakhiri di Pendopo Ngoto, Kabupaten Bantul.

 

Program kampung wisata bertujuan untuk mengoptimalkan berbagai potensi yang dimiliki kampung-kampung di sepanjang Kali Code. Pengembangan infrastruktur sungai pun dilakukan untuk mendukung program-program di Kali Code, salah satunya pembangunan jalur pejalan kaki yang memanjang sejajar dengan Kali Code.

 

Pengembangan Kampung Tangguh Bencana dilakukan sebagai upaya mempersiapkan warga kampung-kampung di sepanjang Kali Code dalam menghadapi ancaman bahaya yang dapat terjadi kapan saja.

 

Sekolah Sungai bertujuan untuk memberikan informasi maupun praktik pengalaman terkait sungai. Materi pembelajaran dalam Sekolah Sungai ini adalah segala hal yang berkaitan dengan penerapan pengelolaan tanah, air dan lingkungan dari hulu sampai hilir sepanjang Kali Code, termasuk pemahaman tentang mitigasi bencana yang disebabkan erupsi Gunung Merapi.

 

Sesi Diskusi

  • Adanya buku Geliat Masyarakat Kali Code merupakan tambahan berharga bagi literasi tentang sungai. Buku-buku yang telah ada sebagian besar membahas sungai dari segi ekologis, sangat jarang yang membahas dari segi pergerakan masyarakatnya, apalagi buku yang ditulis oleh masyarakat itu sendiri. Penyusunan buku ini merupakan salah satu bentuk apresiasi kepada komunitas-komunitas penggiat Kali Code dan warga penghuni kawasan Kali Code.

  • Melalui buku ini, terlihat banyaknya upaya yang telah dilakukan masyarakat pemerhati Kali Code untuk menjaga kualitas sungai. Potensi masing-masing kampung sebagai kampung seni, kampung wisata, kampung kreatif, dan kampung-kampung lainnya menjadi mimpi dan pemicu untuk terus berkembang ke arah yang lebih baik. Semangat yang dimiliki oleh masyarakat Kali Code dapat menjadi inspirasi bagi kampung-kampung lain.

  • Dalam pembahasan tentang sungai, sulit dipisahkan antara bagian hulu, tengah, dan hilir karena keseluruhan bagian sungai terintegrasi satu sama lain. Demikian pula dengan perilaku membuang sampah di sungai. Tidak hanya warga yang tinggal di tepian sungai, banyak pula warga luar yang membuang sampah di Kali Code. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas sungai dan lingkungan di sekitar sungai.

  • Pelestarian Kali Code dan upaya untuk menjaga kebersihan sungai merupakan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat DIY, sesuai dengan pesan Walikota Yogyakarta dalam acara pengukuhan Pemerti Kali Code, “Sungai yang dulu identik dengan tempat buangan sampah, harus kita balik, sungai menjadi sesuatu yang harus dipelihara, perlu ada revolusi nilai-nilai budaya masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai.”

  • Selama ini ada anggapan bahwa baik buruknya kualitas sungai dapat dilihat dari kemampuan ikan untuk hidup di sungai tersebut. Apabila ikan dapat hidup, maka kualitas sungai semakin baik. Akan tetapi, hal ini tidak dapat dijadikan indikator karena ikan memiliki ketahanan hidup yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kualitas sungai harus benar-benar baik sehingga semua jenis ikan dapat hidup.

  • Tingkat pencemaran sungai perlu diukur di laboratorium untuk mendapatkan hasil yang akurat, namun forum-forum pemerhati sungai sudah mulai mengembangkan metode biotilik sebagai metode alternatif yang sederhana untuk mengukur tingkat pencemaran sungai.

  • Seiring dengan makin banyaknya ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) di tepi sungai, hal yang perlu diperhatikan adalah upaya menjaga kualitas RTH tersebut. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan adalah (1) adopsi pohon apabila pepohonan mati saat musim kemarau, (2) kerja bakti oleh warga setempat untuk menumbuhkan rasa memiliki, serta (3) penerapan Mundur, Munggah, Madep Kali (M3K).

  • Berbagai upaya mengoptimalkan potensi Kali Code telah mengarah pada kesiapan kampung-kampung sebagai destinasi wisata. Keberhasilannya menjadi tanggung jawab bersama. Supaya bisa berhasil, diperlukan keseimbangan antara 3 pilar, yaitu pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.

  • Ketika Sultan Hamengku Buwono I memilih lokasi kerajaan di antara 2 sungai, dengan Kali Code berada di sumbu antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, sebenarnya sungai sudah dipersepsikan sebagai heritage. Heritage tidak hanya bermakna warisan budaya, namun juga pusaka pemberian Tuhan.

  • Salah satu contoh situs budaya yang sudah menghilang adalah Pasiraman di Jetisharjo. Pada zaman kerajaan, bangsawan yang pulang dari berburu membersihkan diri di pemandian tersebut sebelum kembali ke keraton. Situs tersebut kini sudah berubah menjadi rumah warga, hanya tersisa namanya sebagai nama jalan. Hal ini menunjukkan masih kurangnya keseriusan pemerintah dalam melestarikan dan merevitalisasi cagar budaya.

  • Anak muda dapat menjadi potensi untuk menjaga kelestarian sungai, melalui upaya kaderisasi untuk menjadi tokoh penggiat selanjutnya di masa depan. Salah satu cara paling mudah yang dapat dilakukan adalah dengan mengajari anak-anak untuk memilah sampah, dan pemahaman untuk tidak membuang sampah di sungai. Pemahaman yang diperoleh anak-anak dari orangtuanya akan dapat diteruskan ke komunitas atau lingkaran pertemanan masing-masing anak. Pada akhirnya, pemahaman sederhana tersebut dapat berujung pada kelestarian sungai.












 

bottom of page