Terletak di kawasan seismik yang dikenal sebagai “Cincin Api” atau Ring of Fire, Indonesia dan Jepang memiliki potensi bencana gempa bumi yang cukup besar. Sekitar 90% gempa bumi terjadi pada sabuk yang membentang dari Selandia Baru hingga Cile melewati pantai-pantai di Benua Asia dan Benua Amerika. Kerusakan rumah menjadi salah satu dampak dari bencana alam yang memerlukan penanganan secara strategis dan komprehensif. Rekonstruksi rumah pasca bencana dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal masyarakat, tetapi juga untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Upaya rekonstruksi rumah di berbagai daerah memiliki konsep dan tipe yang berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti misalnya tipe rumah tahan bencana yang modern atau tipe rumah tradisional dengan unsur budaya.
Profil Pembicara
Dr. Tomoki Motozuka adalah Peneliti di Disaster Reduction and Human Renovation Institution, Kobe, Japan. Fokus keahlian beliau yaitu pada bidang regional disaster prevention. Lulus pada tahun 2006 dari Department of Environmental Systems, Faculty of Systems Engineering, Wakayama University, kemudian beliau melanjutkan pendidikan master’s program in engineering di School of Systems Engineering pada universitas yang sama dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2014, beliau telah menyelesaikan pendidikan doctoral program in environmental engineering di School of Engineering, Kyoto University. Beberapa pengalaman kerja beliau sebelumnya yaitu sebagai part-time staff di Department of Architecture, Kyoto University; sebagai part-time lecturer di Department of Policy Science, Ritsumeikan University; dan sebagai research associate di Disaster Management Research & Education Center.
Materi Inti
Apakah kamu akan memilih bertempat tinggal di rumah yang aman dan modern atau rumah tradisional dengan unsur budaya? Jika memilih untuk bertempat tinggal di rumah yang aman, maka bangunan rumahnya akan terlihat kokoh dan kuat, seperti pada gambar. Namun, jika lebih memilih rumah yang berciri khas budaya, maka bangunan akan mengandung unsur-unsur tradisional daerah.
Gambar ini merupakan contoh bangunan yang memperhatikan aspek keamanan bagi penghuninya. Bangunan terlihat kokoh, kuat, dan modern. Jika ingin lebih aman lagi, dapat membangun shelter atau bangunan di bawah tanah, seperti yang terlihat pada gambar.
Gambar ini merupakan rumah-rumah tradisional di Jepang, dengan berbagai bentuk dan ciri khasnya masing-masing. Namun, rumah tradisional tersebut dapat dengan mudah rusak, hancur, atau terbakar saat terjadinya bencana alam.
Minka merupakan sebutan untuk rumah tradisional di Jepang. Terdapat banyak bentuk gaya arsitektur minka di Jepang, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti misalnya tujuan, periode, wilayah/daerah, iklim, dan faktor lainnya. Fungsi rumah juga menjadi penentu gaya arsitektur minka, seperti rumah yang akan digunakan sebagai rumah peternakan, lingkungan perumahan kepala desa, rumah di perkotaan, lingkungan keluarga samurai, dan lain sebagainya. Selain itu, aspek gaya hidup dan pekerjaan dari penghuni rumah juga akan mempengaruhi gaya arsitektur dan lokasi minka, seperti misalnya desa nelayan yang terkenal di Kyoto, seperti yang terlihat pada gambar. Minka dibangun di dekat laut sehingga memudahkan masyarakat untuk mencari ikan. Mayoritas masyarakat di desa nelayan juga memiliki kapal sebagai alat transportasi mereka.Minka memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Terdapat banyak minka yang bertahan hingga saat ini telah mengalami rekonstruksi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan pemiliknya. Minka berbeda-beda antar daerah yang menunjukkan karakteristik setiap daerah. Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jepang, gaya hidup masyarakat mulai berubah. Minka dengan perlahan mulai menghilang sejak tahun 1960. Untuk tetap melestarikan dan mempertahanan keberadaan minka, pemerintah dengan cepat menjadikan minka sebagai kekayaan budaya (cagar budaya) di Jepang.
Pada tahun 2016 terjadi bencana gempa bumi di Kumomoto secara berturut-turut. Gempa pertama terjadi pada tanggal 14 April 2016 dengan kekuatan sekitar 6,2 SR. Kemudian pada tanggal 16 April 2016 terjadi gempa di lokasi yang hampir sama dengan kekuatan sekitar 7,0 SR.
Gempa bumi yang besar terjadi di area yang hampir sama 2 (dua) kali dalam 3 (tiga) hari merupakan kejadian yang sangat tidak diduga oleh masyarakat Jepang. Pada gambar terlihat kerusakan rumah akibat gempa yang pertama terjadi. Banyak rumah yang hancur dan mengalami kerusakan pada bencana gempa tersebut.
Bencana gempa bumi yang terjadi juga merusak bangunan dengan konstruksi tulang beton, sebagaimana terlihat pada gambar.
Pada gambar ini terlihat bahwa bencana gempa juga merusak rumah dengan standar rumah tahan gempa.
Gambar ini menunjukkan peta persebaran persentase tingkat kerusakan rumah di Kota Mashiki akibat bencana gempa bumi Kumamoto. Tingkat kerusakan rumah digolong menjadi 5 (lima) berdasarkan persentase kerusakan rumah. Area yang berwarna hijau menunjukkan bahwa tingkat kerusakan rumah 0% atau tidak ada rumah yang mengalami kerusakan dikarenakan rumah yang ada di area tersebut jumlahnya sangat sedikit sekali. Tingkat kerusakan rumah paling besar di alami pada area berwarna hitam. Pada area tersebut mayoritas rumah mengalami kerusakan sekitar 75% dan pada area tersebut kepadatan permukiman juga relatif tinggi.
Gambar ini menunjukkan grafik jumlah kerusakan bangunan dengan standar tahan gempa yang dibagi menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu old standard, new standard 1, dan new standard 2. Pada bangunan dengan tipe old standard, bangunan tidak akan hancur dengan gempa berkekuatan 5,0 SR. Namun berdasarkan gempa terakhir yang terjadi di Jepang, maka dikembangkanlah standar tahan gempa baru yaitu new standard, yang mana bangunan tidak akan hancur oleh gempa berkekuatan 6,0 – 7,0 SR. Meskipun sudah diterapkan standar baru, masih terdapat beberapa bangunan yang roboh. Oleh sebab itu, sebaiknya standar harus mengatur aspek konstruksi secara detail dan harus terdapat kontrol terhadap standar konstruksi bangunan.
Di Jepang, masyarakat yang rumahnya rusak akibat bencana gempa bumi akan membutuhkan beberapa sertifikat untuk menunjukkan bahwa mereka layak untuk mendapatkan bantuan bagi korban bencana. Pada disaster victim certificate, terdapat data mengenai kerusakan rumah yang dialami oleh korban bencana. Pendataan kerusakan rumah tersebut dilakukan oleh tim investigator dan membutuhkan waktu sampai sertifikat tersebut dilegalkan. Mekanisme bantuan yang membutuhkan disaster victim certificate pada pasca bencana alam, seperti victims relief aid, public donations, reduction/exemption of the national health insurance premium, disaster restoration housing loan, dan lain sebagainya.
Gambar ini menunjukkan besarnya dana bantuan yang akan diterima oleh korban bencana gempa bumi yang rumahnya mengalami kerusakan atau hancur. Bantuan dana terdiri dari basic support dan additional support.
Bangunan-bangunan bersejarah/budaya seperti yang terlihat pada gambar, akan dibangun kembali jika mengalami kerusakan akibat bencana alam. Pembangunan menggunakan uang negara, maupun dengan bantuan dana dari lembaga internasional. Namun, tidak semua bangunan budaya dibiayai oleh negara, terdapat beberapa bangunan yang tidak tergolong bangunan budaya Jepang tidak mendapatkan bantuan dana rekonstruksi, seperti misalnya bangunan keagamaan dan bangunan privat.
Di Jepang, pasca bencana gempa, masyarakat mengungsi di shelter-shelter. Setelah kondisi dirasa cukup aman, masyarakat dapat kembali ke rumahnya masing-masing. Namun, jika rumah mengalami kerusakan yang cukup parah, masyarakat harus tinggal terlebih dahulu di rumah sementara (temporary house) yang dibiayai oleh pemerintah. Penyediaan temporary house ini membutuhkan lahan yang cukup besar sehingga jumlahnya pun tidak begitu banyak. Temporary house ini berada di lahan publik, namun karena lahan publik terbatas sehingga menggunakan lahan-lahan privat juga. Masyarakat dapat tinggal di temporary house selama maksimal 2 (dua) tahun sesuai dengan peraturan pemerintah. Setelah itu, masyarakat akan diberikan pilihan untuk tinggal di public restoration housing atau pindah ke tempat lain dan memiliki rumah baru.
Gambar ini menunjukkan kondisi daerah di Jepang yang berada tepat di tepian laut sebelum terjadinya bencana tsunami dan saat dilanda bencana tsunami. Pada tahun 2011, bencana tsunami menghantam daerah pantai di Jepang. Penduduk yang bertempat tinggal di dekat pantai tersebut sebenarnya menyadari bahwa mereka berpotensi terkena bencana tsunami dan sudah memiliki kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana tersebut. Namun, bencana tsunami yang terjadi pada tahun 2011 ini ternyata lebih besar dari rata-rata kekuatan tsunami pada kejadian-kejadian sebelumnya.
Kekuatan tsunami yang begitu besar pada tahun 2011 di Jepang, tidak diperkirakan oleh penduduk sekitar pantai. Hal tersebut menyebabkan banyak penduduk yang meninggal dikarenakan tidak sempat untuk dievakuasi. Banyak korban bencana yang diungsikan karena tempat tinggal mereka terendam oleh air, bahkan tidak sedikit juga rumah yang rusak akibat diterjang tsunami.
Setelah bencana tsunami melanda daerah pantai di Jepang, pemerintah berupaya untuk mencari cara dan menyusun strategi agar saat tsunami kembali terjadi, korban jiwa dapat berkurang. Pemerintah menggolongkan tsunami menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu L1 Tsunami dan L2 Tsunami. L1 tsunami merupakan tsunami kecil yang biasanya terjadi 50 tahun hingga 100 tahun sekali. Sementara itu, L2 tsunami merupakan tsunami besar yang terjadi dalam rentang waktu lebih panjang, seperti misalnya 300 tahun sekali. Untuk mengurangi risiko bencana tsunami, terutama korban jiwa, pemerintah membangun tanggul untuk menahan tsunami. Namun, tanggul tersebut hanya dapat menahan tsunami kecil atau L1 tsunami. Oleh sebab itu, pemerintah memberikan arahan terkait dengan lokasi yang aman untuk membangun permukiman berdasarkan estimasi dampak tsunami, seperti terlihat pada gambar.
Gambar ini merupakan model lain dari rekonstruksi yang dibangun oleh pemerintah dalam menentukan daerah yang aman dari bencana tsunami. Rekonstruksi rumah pada tipe ini juga mempertimbangkan perkiraan dampak bencana tsunami yang terjadi. Rumah yang aman terhadap bencana tsunami adalah rumah yang berada di lahan yang lebih tinggi dari perkiraan dampak bencana tsunami. Dengan model ini, pemerintah harus merelokasi bangunan dan rumah ke tempat atau lahan-lahan yang lebih tinggi. Hal tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama untuk merekonstruksi rumah yang harus direlokasi.
Pada gambar ini, laut berada di belakang dinding yang disebut dengan seawall. Seawall yang sangat tinggi ini berada di sepanjang garis pantai yang dapat menahan gelombang tsunami memasuki area permukiman masyarakat yang berada di daerah tepi pantai. Pembangunan seawall tersebut merupakan salah satu upaya pengurangan risiko bencana tsunami.
Gambar ini merupakan salah satu area di Jepang yang terkena dampak bencana tsunami. Terlihat pada gambar, sudah tidak ada lagi yang menggunakan area tersebut. untuk melakukan rekonstruksi pada area ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Tidak hanya merekonstruksi rumah, tetapi juga lahannya.
Gambar ini merupakan peta wilayah di Jepang yang terdampak bencana tsunami, yang panjangnya sekitar 600 Km di sepanjang garis pantai. Untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana tsunami, pemerintah berupaya untuk membangun seawall atau merekonstruksi lahan. Namun, tidak semua masyarakat menginginkan hal tersebut. Pada daerah utara, topografi lahannya cenderung datar sehingga mudah untuk merelokasi rumah warga. Sementara di daerah lainnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan rekonstruksi lahan.
Salah satu kota di Jepang, yaitu Kota Kesennuma, merupakan kota yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Di daerah ini, masyarakat sering melaut untuk mencari ikan. Selain itu, juga terdapat industri perikanan yang berkembang di daerah ini.
Pada peta ini terdapat garis merah di tepian pantai Kota Kesennuma. Garis merah tersebut menunjukkan lokasi yang akan dibangun seawall oleh pemerintah. Namun, mayoritas masyarakat di daerah tersebut tidak menginginkan adanya seawall. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya seawall, masyarakat akan kesulitan jika ingin beraktivitas di dekat laut, seperti misalnya melihat pemandangan laut, mencari ikan, dan lain sebagainya.
Gambar ini menunjukkan dampak dari bencana tsunami yang melanda Kota Kesennuma. Dampak yang ditimbulkan cukup besar. Terlihat pada gambar, beberapa bangunan mengalami kerusakan yang cukup parah. Namun, masyarakat yang berada di kota ini, tidak mau dievakuasi.
Pembangunan seawall sebagai upaya pemerintah mengurangi risiko bencana tsunami, mendapat respon negatif dari masyarakat. Mayoritas masyarakat tidak menginginkan adanya seawall. Masyarakat beranggapan bahwa mereka dapat menyelematkan diri mereka sendiri saat terjadi bencana tsunami dengan cara mengungsi di lantai 2 (dua) rumah mereka. Selain itu, pembangunan seawall membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga dapat mengganggu aktivitas pelabuhan. Pengelola pelabuhan juga tidak memberikan izin untuk pembangunan seawall karena pengelola pelabuhan menganggap masyarakat juga tidak menginginkan adanya seawall.
Pemerintah kota terus berupaya melakukan dialog dengan masyarakat dan lembaga pemerintah lainnya serta pemangku kepentingan terkait untuk dapat melaksanakan pembangunan seawall. Proses dialog tersebut membutuhkan waktu lebih dari 6 (enam) tahun. Selain itu, pemerintah juga membentuk town development council atau komite pembangunan kota. Pada akhirnya, pemerintah berhasil meyakinkan masyarakat tentang urgensi pembangunan seawall. Gambaran dari proses yang dilalui tersebut menunjukkan bahwa proses diskusi antara pemerintah dan pemangku kepentingan terkait serta masyarakat sangat penting. Peran teknisi (engineer) serta pengembangan teknologi-teknologi terbaru pun penting untuk turut serta dilibatkan dalam upaya pembangunan kota. Jika masyarakat tidak dilibatkan dan ide-ide masyarakat tidak ditampung, maka proses pembangunan seawall ini tidak akan terwujud.
Pemerintah memberikan solusi terhadap desain pembangunan seawall, yaitu desain seawall yang tetap memungkinkan pelabuhan beroperasi dan masyarakat tetap dapat melihat laut. Pada seawall juga dapat dibangun taman.
Dua bulan yang lalu, kondisi rekonstruksi di Nepal pasca bencana gempa bumi terlihat sebagaimana pada gambar. Nepal tidak dapat melakukan rekonstruksi bangunan, hanya membangun kembali dengan sedikit tambahan detail-detail pada bangunan.
Seperti terlihat pada gambar, upaya pembangunan kembali bangunan yang runtuh hanya dengan menggunakan bata sehingga sangat lemah atau rentan apabila kembali terjadi bencana gempa bumi. Oleh karena itu, Pemerintah Nepal mengubah peraturan tentang konstruksi bangunan agar rekonstruksi bangunan yang dilakukan dapat tahan terhadap bencana gempa.
Mayoritas masyarakat Nepal memiliki rumah dengan beberapa ruangan yang sesuai dengan kebutuhan hidup mereka. Jika jumlah anak mereka bertambah, maka mereka akan membangun ruangan lagi untuk anak mereka yang berada di atas bangunan yang sudah terbangun. Budaya masyarakat tersebut sulit untuk diubah karena budaya tersebut sudah ada sejak ratusan tahun lamanya.
Beberapa masyarakat yang memiliki cukup uang, lebih memilih untuk membeli lahan di daerah lain dengan pemandangan yang bagus. Hal itu juga salah satunya dikarenakan terbatasnya ketersediaan lahan di perkotaan. Namun, bangunan yang di bangun tidak memiliki konstruksi yang kuat sehingga mudah untuk mengalami kerusakan saat bencana gempa terjadi.
Bencana gempa bumi juga pernah melanda Indonesia, seperti misalnya di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2006. Kotagede merupakan kawasan permukiman lama. Namun seiring perkembangan jaman dan gempa bumi melanda daerah ini, keberadaan rumah-rumah tradisional seperti joglo sudah mulai menghilang. Padahal keberadaan joglo berpotensi dikembangkan sebagai bisnis karena banyak wisatawan mancanegara yang ingin melihat joglo.
Gambar ini menunjukkan beberapa jenis tempat tinggal sementara pasca bencana gempa bumi. Tipe yang pertama disebut dengan core house, yang terdiri dari kamar tidur dan ruang tamu. Selanjutnya, terdapat desain tempat tinggal yang didanai oleh Kompas dan didesain oleh Eko Prawoto. Selain itu, ada tipe dome house yang juga merupakan tempat tinggal sementara pasca bencana gempa bumi.
Ini merupakan salah satu desain bangunan yang memperkenalkan bambu sebagai konstruksinya. Namun, saat ini bangunan tersebut sudah roboh, mungkin karena tidak ada masyarakat yang menggunakan bangunan tersebut.
Sesi Diskusi
Rumah dengan tipe yang aman atau tipe tradisional menjadi pilihan setiap negara, lembaga, maupun masyarakat dalam melakukan rekonstruksi rumah pasca bencana alam. Penggabungan kedua tipe rumah tersebut pun dapat juga dilakukan, seperti misalnya dome house di Indonesia yang disatukan dengan rumah tipe tradisional Jawa. Hal tersebut bukanlah ide yang sederhana, dimana menggabungkan konstruksi rumah tipe aman yang cenderung modern dengan konstruksi dan model tipe rumah tradisional.
Rumah dengan tipe tradisional pun belum tentu tidak aman terhadap bencana. Seperti bencana gempa bumi yang terjadi di Nias, rumah tradisional Nias lebih sedikit mengalami kerusakan dibandingkan dengan rumah-rumah modern. Hal tersebut menunjukkan bahwa bukan masalah tipe tradisional atau modern, tapi lebih kepada struktur rumahnya. Dengan struktur bangunan yang sesuai dengan standar aman bencana, tentunya baik rumah modern maupun rumah tradisional akan mampu bertahan jika terjadi bencana alam.
Rekonstruksi rumah pasca bencana alam dengan tetap mempertahankan bentuk dan tipe tradisionalnya memungkinkan untuk dilakukan. Namun kendala yang sering ditemui yaitu terkait dengan biaya. Perbaikan, pembangunan, maupun pemeliharaan rumah-rumah dengan tipe tradisional membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Hal tersebut sejalan dengan bahan baku yang diperlukan dalam konstruksi rumah tradisional.
Rekonstruksi rumah di Jepang terdiri dari tipe old standard dan new standard. Perbedaan antara kedua tipe tersebut adalah pada denah rumah dan posisi dinding rumah. Pada tipe old standard, bentuk rumah tidak simetri dan posisi dinding cenderung tidak terhubung serta jaraknya saling berjauhan. Sementara itu, pada tipe new standard, bentuk rumah lebih simetri dan posisi dinding saling terhubung dan mengikat serta jaraknya lebih berdekatan. Rumah tipe new standard lebih aman terhadap bencana gempa bumi karena konstruksi rumah menjadi lebih kokoh dan kuat.
Kebijakan Pemerintah Jepang sebagai upaya mitigasi dan pengurangan risiko bencana dilakukan dalam beberapa cara, seperti misalnya mengatur lokasi permukiman, membatasi pembangunan rumah di suatu lokasi, dan lain sebagainya. Pemerintah Jepang juga menyusun hazard map, yang mengkategorikan wilayah berdasarkan dampak ketinggian bencana tsunami. Sosialisasi kepada masyarakat tentang adanya hazard map juga dilakukan oleh Pemerintah Jepang guna meningkatkan kesiapsiagaan bencana. Selain itu, pengaturan terhadap ketinggian lokasi rumah di daerah rawan bencana tsunami juga dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi risiko bencana tsunami.
Dalam rekonstruksi rumah, tipe rumah yang dibangun tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan budaya. Tetapi juga dipengaruhi oleh dari mana sumber pendanaan dalam kegiatan rekonstruksi rumah. Seperti misalnya dome house yang dibangun di Indonesia. Dari segi struktur, dome house memang aman terhadap bencana gempa bumi, tapi dari segi lingkungan dan iklim, model tersebut kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia sebagai negara tropis. Dome house menjadi identitas dari pemberi dana (lembaga donor) di berbagai negara sebagai bantuan dalam rekonstruksi rumah pasca bencana gempa bumi.