top of page

Jogja Meremajakan Kawasan Kumuh

Pengisi Materi

  1. Agus Tri Haryono, ST., MT. (Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta)

  2. FX. Joko Ari Cahyono, ST, M.Sc (Kepala Seksi Pengembangan Kawasan, Bidang Perumahan, Dinas PU P ESDM DIY)

  3. Endah Dwi Fardhani, ST (Project Manager HRC Caritra)

  4. Ir. Suparwoko, MURP, Ph.D (Kepala Pusat Studi Perkotaan Hijau Arsitektur, Universitas Islam Indonesia)

  5. Mahmud Al Harisi (Koordinator KOTAKU Yogyakarta)

Moderator: Dr. - Ing., Ir. Paulus Bawole, MIP. (Ahli Arsitek, Permukiman, dan Perancangan Kota, Universitas Kristen Duta Wacana)

Sesi I

Melihat Peremajaan Kawasan Kumuh dari Sisi Kebijakan

Agus Tri Haryono - Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta

Permukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota-kota besar di Indonesia, bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Di Yogyakarta, kawasan kumuh terbagi menjadi 4 area, yaitu kawasan bantaran sungai Winongo, kawasan bantaran sungai Code, kawasan bantaran sungai Gajahwong, dan kawasan non bantaran sungai. Tiap kawasan kumuh yang ditangani memiliki konsep perencanaan. Kawasan Winongo dengan konsep waterfront area, kawasan Code dengan konsep riverside pedestrian, dan kawasan Gajahwong dengan konsep integrated ecotourism. Sementara itu, kawasan kumuh non-bantaran baru akan ditangani pada tahun 2019. Sesuai dokumen Roadmap Dinas PU PKP Kota Yogyakarta, kawasan kumuh non-bantaran yaitu daerah Klitren, Baciro, Gunungketur, dan Semaki.

Penanganan di Kelurahan Mujamuju berhasil memundurkan 186 rumah sejauh 2,5m – 4m secara mandiri. Pelaksanaan ini dibantu oleh program Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL) yang dicanangkan oleh BPN.

 

Terdapat tiga isu terkait penanganan kawasan kumuh, yaitu:

a. Penilaian karakteristik kawasan kumuh didasarkan pada 7 indikator yang tercantum dalam PermenPUPR no 2 tahun 2016 tentang Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh. Sementara itu, aspek visual memiliki pengaruh besar terhadap karakter kawasan kumuh. Salah satu contohnya adalah kawasan Ngampilan yang mampu meningkatkan kualitas kawasannya menggunakan 7 indikator tersebut, tapi masih terlihat kumuh.

b. Penanganan kawasan kumuh belum mengoptimasi tugas dan kewajiban kelembagaan. Kurang tepatnya pengalokasian program penanganan kumuh oleh Pokja PKP Kota Yogyakarta dapat mempengaruhi anggaran.

c. Masih terdapat batas yang buram pembagian kewenangan kawasan kumuh antar hierarki pemerintahan. Menurut UU No 23 tahun 2014, kewenangan Pemerintah Kota adalah seluas 21,56 ha, terdiri dari kawasan Danurejan, Gedongtengen, dan Pakualaman. Kawasan yang ditangani Pemerintah Provinsi adalah seluas 36,5 Ha, terdiri dari kawasan Wirobrajan, Ngampilan, dan Gondomanan. Sementara sisa kawasan kumuh lainnya ditangani oleh Pemerintah Pusat seluas 216 ha yang tersebar di 7 kecamatan di Kota Yogyakarta. Di tahun 2018, kawasan yang masuk dalam kewenangan Pemerintah Pusat baru akan ditangani, kawasan tersebut di antaranya adalah Muja-Muju, Pandeyan, dan Sorosutan.

 

Gerakan penanganan permukiman kumuh bertujuan untuk meningkatkan daya tarik, sehingga bisa memberi pengaruh yang besar terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Konsep penanganan kawasan kumuh di Yogyakarta menggunakan Gerakan M3K. Gerakan M3K mengutamakan sungai sebagai halaman depan. Melalui gerakan ini, beberapa lokasi penanganan di Ngampilan berhasil memundurkan bangunan sejauh 3 meter, disertai dengan fasilitas PSU penerangan dalam interval 30 m. Pemerintah Kota juga sudah menginisiasi Electronic Slum Upgrading Report (E-SURe) sebagai media integrasi antar pihak yang bekerja dalam penanganan kumuh. E-SURe telah membantu penurunan luasan kumuh di Kota Yogyakarta, dari 264,9 ha menjadi 225 Ha per Desember 2017. Media ini dapat memfasilitasi upaya sinergitas antar UPD, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat, karena semua data tertuang di E-SURe.

 

Tentunya permasalahan perumahan dan permukiman tidak hanya berbicara tentang permukiman kumuh, namun juga mengenai backlog dan rumah tidak layak huni. Kota Yogyakarta memiliki angka backlog sebanyak 8.561 rumah. Pemerintah memandang permasalahan utamanya ada di ketersediaan tanah, yang mungkin bisa teratasi melalui apartemen mandiri yang direncanakan akan diinisiasi oleh Forum Kali Winongo Asri. Pemerintah Kota juga sudah menyusun skema pembiayaan apartemen/rumah susun tersebut. Namun, masih ada kendala dalam pelaksanaannya karena belum ada PP yang mengatur rumah susun. Harapannya, peraturan tersebut dapat mengatur peruntukan rumah susun MBR sebesar 20% dari total luas lantai rusun komersial. Kota Yogyakarta telah mengalami penurunan jumlah rumah tidak layak huni, dari 3.304 unit di tahun 2015 menjadi 1.982 unit di tahun 2017. Penanganan RTLH bisa dioptimalkan dengan program BSPS, namun kendala yang terjadi di Yogyakarta adalah terkait status tanah RTLH. Kebanyakan warga penghuni RTLH di Yogyakarta tidak memiliki hak milik atas tanah, baik secara ngindung (menumpang), maupun tinggal di wedi kengser (lahan di bantaran sungai), atau di atas tanah SG/PAG. Pemerintah Kota Yogyakarta memohon mediasi dari Dewan Perumahan untuk mengajukan usulan terkait kewajiban status tanah calon penerima BSPS kepada KemenPUPR, sehingga bisa dimanfaatkan dengan baik di wilayah Yogyakarta. Sementara itu, melalui program lainnya, Pemerintah Kota telah mengalokasikan anggaran untuk renovasi 1.082 unit RTLH sebesar 12,5 jt per rumah, dengan menetapkan syarat kepada calon penerima yaitu Surat Kekancingan atau surat keterangan tinggal lainnya yang ditandatangani oleh ketua RT, RW, dan Kelurahan.

 

FX. Joko Ari Cahyono - Kepala Seksi Pengembangan Kawasan, Bidang Perumahan, Dinas PU P ESDM DIY

Penanganan kawasan kumuh merupakan salah satu cara untuk merubah persepsi masyarakat tentang lingkungan, bangunan, dan kualitas hidupnya. Persepsi tersebut diterjemahkan menjadi indikator-indikator kumuh menurut UU No 1 tahun 2011, di antaranya adalah kriteria bangunan gedung, jalan lingkungan, drainase lingkungan, penyediaan air minum, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, dan pengamanan kebakaran.Ketidakaturan dari kriteria-kriteria tersebut terakumulasi menjadi kawasan kumuh. Salah satu faktor penyebabnya adalah urbanisasi. Oleh karena makin banyaknya penduduk datang ke kota dan tidak berdayanya suatu kota mendukung aktivitas tersebut, maka dibuatlah kota-kota satelit yang menjadi penyebab utama urban sprawling. Sayangnya, peluberan kota ini tidak didukung dengan pembangunan sarana dan infrastruktur, sehingga tidak berhasil mengalihkan keinginan penduduk untuk bermukim di kota. Hal ini diikuti oleh mahalnya harga tanah di perkotaan, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah hanya bisa bermukim di kawasan peruntukan non-permukiman, yang belum tersentuh oleh infrastruktur dan fasilitas permukiman. Faktor lainnya adalah ketidakpahaman akan standar hidup yang layak dan lemahnya penegakan hukum.

 

Dalam mengatasi permasalahan kepadatan Yogyakarta (sebesar 12.000 jiwa/km2), upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi adalah dengan membangun hunian vertikal. Menggunakan konsep M3K, Pemerintah Provinsi telah membangun 1 tower rumah susun di Gemawang. Aplikasi konsepnya adalah dengan merubah persepsi masyarakat bahwa sungai merupakan aset lingkungan yang harus dijaga.

 

Penanganan kawasan kumuh perkotaan tidak hanya memperbaiki kondisi saat ini, tapi juga berorientasi secara berkelanjutan ke masa depan. BAPPENAS memiliki konsep untuk perencanaan dan pengembangan kota di masa depan, yaitu prinsip Kota Berkelanjutan dan Berdaya Saing 2015-2045. Pilar Kota Layak yang Aman dan Nyaman diidentifikasikan melalui poin-poin berikut, yaitu mixed use, transitable dan walkable, affordable, comfortable, cultural, dan connectivity. Salah satu prinsip, yaitu cultural, menjadi dasar penyusunan Community Action Planning, supaya masyarakat dapat menentukan sendiri apa yang diinginkan dan bagaimana desainnya, dengan didampingi oleh fasilitator.Prinsip Kota Berkelanjutan dan Berdaya Saing berkolaborasi dengan prinsip smart city, di antaranya adalah smart economy, smart people, smart governance, smart mobility, smart environment, dan smart living. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan masyarakat dalam arus manfaat teknologi, serta membangun keterkaitan dan manfaat antarkota dan desa-kota dalam sistem perkotaan nasional berbasis kewilayahan.

 

Endah Dwi Fardhani - Project Manager HRC Caritra

Konsep penanganan kumuh harusnya dilaksanakan secara komprehensif, namun pada kenyataannya banyak penanganan kumuh yang bersifat parsial dan hanya menyentuh infrastruktur. Tujuan utama dari penanganan kumuh adalah untuk menjaga kawasan tersebut tidak kembali lagi menjadi kumuh. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah akses sirkulasi, tata bangunan, peruntukan lahan, tata kualitas lingkungan, ruang terbuka hijau, prasarana lingkungan, dan sampah. Penting juga untuk mendata kemampuan bayar masyarakat, dengan tujuan menemukan kebutuhan masyarakat dari segi kondisi perekonomian yang akan menguatkan livelihood. Kepemilikan lahan juga sering menjadi masalah dalam penataan, didasari atas sulitnya mendapatkan data status tanah. Saat data status kepemilikan tanah di kawasan kumuh sudah ditemui, maka akan lebih mudah untuk menentukan strategi penanganannya.

 

Terdapat dua poin yang menjadi prinsip penataan kawasan kumuh di India, melalui program Rajiv Awas Yojana (RAY), yaitu sisi kebijakan dan investasi. Penataan kawasan kumuh bisa menangani permasalahan backlog penghunian, dengan memfasilitasi pemenuhan rumah sewa. Penguatan livelihood dapat ditempuh melalui langkah-langkah kuratif seperti slum upgrading, yang diaplikasikan melalui pembangunan rumah untuk homeless, pembangunan infrastruktur dasar dan pembangunan kembali lokasi kumuh, dan relokasi terbatas yang berkaitan dengan lahan.

 

Sesi II

Kemajuan Penanganan Kawasan Kumuh dan Potensi Pembangunan Ke Depan

Mahmud Al Harisi - Koordinator KOTAKU Kota Yogyakarta

Berdasar hasil survey data baseline oleh BKM (2017), 60% permasalahan kawasan kumuh di Kota Yogyakarta didominasi oleh keteraturan bangunan dan gedung, sebagai salah satu indikator kumuh. Bantaran Sungai Winongo menjadi prioritas penanganan di tahun 2018, berdasarkan hasil kajian Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP). Prioritasi ini menggunakan penilaian akan kondisi kesiapan masyarakat, pengurus, dan komunitas, kemudahan untuk dilakukan penanganan, kemendesakan, keterkaitan jaringan, dan dukungan dari pihak-pihak terkait. Bantaran Sungai Winongo yang menjadi prioritas terdiri dari kawasan Bumijo, Tegalrejo, Ngampilan, Pakuncen, dan Pringgokusuman.

Selain itu, setiap kelurahan di Kota Yogyakarta sudah memiliki Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) yang disusun oleh Tim Inti Perencanaan Partisipatif (TIPP). RPLP ini dimaksudkan untuk mengemban prinsip-prinsip dasar penataan kawasan berkelanjutan, di antaranya adalah responsif gender, mitigasi bencana, dan penguatan livelihood. Namun memang program pembangunan fisik lebih dominan dibanding aspek lainnya, sehingga membutuhkan kajian lebih dalam.

KOTAKU sedang menjalin kerjasama dengan salah satu lembaga Prancis untuk penanganan kumuh di kawasan Pakuncen, dengan menerapkan konsep urban renewal. Salah satu kegiatan yang akan dilaksanakan di bulan April adalah sayembara penyusunan DED yang menargetkan ahli-ahli arsitek di seluruh Indonesia.

 

Suparwoko - Kepala Pusat Studi Perkotaan Hijau Arsitektur, Universitas Islam Indonesia

Berikut merupakan poin-poin kesimpulan dari kegiatan Workshop Strategi Merumahkan Rakyat: Meningkatkan Pasokan dan Memampukan Akses, yang dilaksanakan oleh Universitas Gadjah Mada bersama dengan Kementerian PUPR pada tanggal 17 Februari 2018. Hasil kegiatan ini melahirkan potensi dan alternatif bagi penanganan permasalahan perumahan ke depannya, termasuk permasalahan kumuh. Salah satu potensi pembangunan yang menjadi fokus pembahasan adalah integrasi antar fasilitas publik untuk mendukung kebutuhan perumahan. Implementasinya, dapat berupa pembangunan residensial vertikal di lahan-lahan publik, termasuk lahan SG dan PAG di Yogyakarta.

 

Gambar ini merupakan salah satu blockplan dari perencanaan rusunawa di Suryodipuran. Bangunan ini bersifat mixed use, dengan fungsi komersial berupa pasar untuk lantai pertama dan lantai kedua, dan fungsi residensial di lantai ketiga dan seterusnya. Menggunakan referensi pembangunan di Dubai, blok-blok kota dengan gedung-gedung vertikal dibuat supaya permeable (mudah ditembus), sehingga kadar konektivitas antar pusat kegiatan tetap tinggi. Sementara lantai bawah berfungsi komersial.Sebanyak 16% dari total lahan SG ada di dalam peruntukan kawasan permukiman kota. Dengan fungsi eksisting yang bermacam-macam, masih banyak potensi lahan SG di perkotaan Yogyakarta yang bisa dioptimalkan untuk kepentingan masyarakat. Beberapa fungsi publik seperti pasar, stasiun, atau terminal, dapat dimanfaatkan dengan menerapkan prinsip mixed use. Prinsip mixed use bagi hunian vertikal (selayaknya juga diterapkan dalam TOD) memang merupakan solusi bagi permasalahan akses bagi penghuni kawasan kumuh kota.Kunci penting bagi penerapan potensi percepatan pembangunan di perkotaan adalah integrasi antar fungsi publik, yaitu antara fungsi komersial, residential, dan transit. Meski begitu, tantangan yang masih dihadapi para pelaku pembangunan adalah bagaimana untuk mendapatkan aspirasi penuh dari masyarakat terhadap adanya inovasi perumahan.

 

Model Pengembangan Hunian Vertikal di Pasar Pingit.

 

SESI DISKUSI

Hasil diskusi dirangkum dalam bentuk daftar masukan/usulan dari pembicara dan peserta.

1. Agus Tri Haryono (Kepala Dinas PU PKP Kota Yogyakarta)

  • Acara kumuh selanjutnya mengundang pihak Bantul dan Sleman, karena permasalahan kumuh juga banyak terjadi di wilayah perbatasan Kota Yogyakarta.

  • Dinas sudah melakukan perencanaan dan perbaikan dari segi infrastruktur, maka memohon bantuan dari akademisi untuk masuk di segi sosial dan penyiapan masyarakatnya.

  • Dewan Perumahan bisa menyurati ke Kementerian PUPR berkaitan dengan program BSPS yang mewajibkan hak milik, untuk itu butuh penyesuaian sesuai dengan target BSPS untuk mengurangi kemiskinan. Apa bisa untuk Jogja status tanah/alas haknya diubah

  • Untuk membantu mengurangi permasalahan di Kota Yogyakarta, UGM bisa membangun embung di Kabupaten Sleman

2. Harris SU (Pemerhati Kali Code)

  • Pemerintah bisa membuat patok edukasi sempadan

  • Ada agenda workshop khusus untuk peran-peran penanganan kumuh untuk komitmen bersama

3. Endang R (FKWA)

  • Masyarakat butuh pendampingan untuk menyusun perencanaan, karena penataan yang sudah ada hanya bersifat parsial. Masyarakat sudah mencoba membuat perencanaan kawasan yang terintegrasi,

  • Ada satu forum khusus mengkritisi isu kumuh di masing-masing kawasan dengan Kotaku dan pemerintah daerah.

4. Dhinar (Yakkum Emergency Unit)

  • KOTAKU juga perlu menyusun peta risiko bencana, supaya masyarakat tidak mengalami kebingungan saat ada bencana, seperti banjir, gempa, longsor, dan lainnya

5. Agam Marsoyo (Kepala IAP DIY)

  • Perkembangan perkotaan lambat laun akan dihadapkan pada titik mati, salah satu langkah yang bisa dicapai adalah dengan urban renewal. urban renewal bisa dilaksanakan dengan menentukan terlebih dahulu pihak-pihak yang terlibat, terutama leading sector-nya,

  • Untuk identifikasi pekerjaan penataan kumuh yang telah dilakukan oleh peserta, dibutuhkan peta lokasi kumuh mencakup Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman dengan skala 1:1000 dan informasi kepemilikan tanah.

6. Mahditia Paramita (HRC Caritra)

  • RP2KPKP juga perlu mempertimbangkan kawasan berpotensi kumuh, mengingat adanya rencana pengembangan kawasan TOD dan bandara NYIA. Skema kepemilikan/kepenghunian perumahan perlu disusun untuk mengantisipasi kebutuhan perumahan di masa depan. Dapat dilakukan roadshow atau diskusi rutin.

7. Tri Dwi (World Bank)

  • Program PTSL oleh BPN dimaksimalkan, sehingga dapat menjadi digunakan untuk penataan kawasan kumuh.

8. Rowi Sutaryo (Koordinator BKM)

  • Butuh peran akademisi dan LSM untuk mendampingi masyarakat/TIPP dalam penyusunan RPLP, terutama yang berhubungan dengan hal teknis (seperti DED), dan keberlanjutan dari rencana tersebut, termasuk pemeliharaan infrastruktur,

  • Perlu ada komitmen dari semua elemen terlibat, termasuk dari akademisi, pemutus kebijakan, pemerhati lingkungan dan lembaga, serta masyarakat terhadap penyelesaian masalah kumuh.

9. Mahmud Al Farisi (KOTAKU)

  • Mengadakan pilot project penanganan kawasan kumuh di Kota Yogyakarta

  • Partisipasi akademisi dalam fasilitasi warga terhadap perencanaan (seperti menyusun DED) dan pemeliharaan


bottom of page