SDGs Seminar Series #25 dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2018 di Departemen Geografi Pembangunan Universitas Gadjah Mada dengan moderator Prof. Dr. M. Baiquni, M.A sebagai Ketua Departemen Geografi Pembangunan. Tujuan dari serial seminar ini adalah untuk mengimplementasikan poin-poin dalam SDGs secara nyata pada tingkat komunitas. Seminar ini dihadiri oleh akademisi, peneliti, Yayasan Caritra (HRC Indonesia), Yayasan Karinakas, dan komunitas Desa Poncoh.
Profil Pembicara
Dr. Ir. Mahditia Paramita, M.Sc. adalah Sekretaris Dewan Perumahan DIY yang berkiprah di bidang permukiman, perencanaan perkotaan dan kebijakan publik. Beliau merupakan lulusan Teknik Arsitektur - Universitas Gadjah Mada dan Master of Human Settlements – KU Leuven, kemudian mendapatkan gelar doktor di bidang Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada. Selain menjabat sebagai direktur di Yayasan Caritra (HRC Indonesia), beliau aktif menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan pelatihan, seminar maupun workshop yang berkaitan dengan permukiman dan perkotaan.
Materi Inti
Selama ini, tantangan dalam implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) terletak pada keluaran kegiatan yang masih terbatas pada dokumen tertulis. Maka dari itu, diperlukan adanya langkah nyata dalam mewujudkan poin-poin SDGs. Kampung Hijau 2030 di Dusun Serut merupakan salah satu bentuk nyata dari implementasi SDGs pada tingkat komunitas. Adanya kekuatan dari komunitas untuk mewujudkan kemandirian dalam pembangunan merupakan sebuah upaya untuk mengimplementasikan poin-poin dalam SDGs yang dimulai pada tingkat pembangunan terkecil.
Inisiasi implementasi poin-poin SDGs dalam perencanaan Dusun Serut berawal dari statusnya sebagai dusun rawan bencana. Dusun Serut mengalami kerusakan parah saat gempa bumi di Bantul pada 27 Mei 2006. Oleh karena itu, poin dalam SDGs yang pertama kali harus dipenuhi adalah adanya jaminan keamanan. Lalu diikuti dengan poin kedua, yaitu tersedianya kebutuhan pangan; poin ketiga yaitu ketersediaan kebutuhan energi termasuk listrik; dan yang terakhir adalah poin keempat yaitu mewujudkan penduduk Serut yang sehat dengan adanya pertanian organik.
Salah satu prinsip yang memiliki tingkat urgensi tinggi dalam mewujudkan Serut Hijau 2030 adalah berkarakter lokal. Prinsip ini membutuhkan proses kaderisasi yang bertujuan untuk mencegah adanya ketimpangan dalam pembangunan antar generasi yang pasti akan berganti.
Proses perencanaan di Dusun Serut dimulai dari pendekatan terhadap warga Serut pada saat pasca bencana gempa bumi. Penyampaian tujuan pendampingan harus jelas sehingga masyarakat memiliki gambaran terhadap pentingnya perencanaan untuk masa depan. Program-program yang disampaikan kepada masyarakat pada tahap awal internalisasi dimulai dari hal yang membutuhkan pemahaman yang mudah, seperti program pengelolaan sampah, rencana jalan lingkungan, dan sebagainya.
Pada mulanya, masterplan Dusun Serut memiliki jangka waktu sampai tahun 2010, akan tetapi warga menginginkan rencana yang berkelanjutan supaya rencana sebelumnya dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada komunitas. Oleh karena itu, dibuatlah rencana jangka panjang hingga tahun 2030. Penyusunan masterplan ini menjadi salah satu bentuk upaya perwujudan SDGs. Pembangunan dimulai dari aspek yang dianggap paling sederhana yang kemudian diikuti oleh aspek yang lebih kompleks.
Sebelum membuat rencana jangka panjang, maka dilakukan pendataan ulang terkait dengan kondisi dusun, di antaranya dari aspek kependudukan, sampah, transportasi, peternakan, serta pertanian. Hal ini dilakukan agar perencanaan tetap relevan dan memiliki indikator yang jelas.
Proses penyusunan rencana melibatkan warga Dusun Serut secara partisipatif. Berangkat dari pendekatan tersebut, penduduk setempat mulai menyadari potensi maupun masalah yang dimiliki oleh dusun. Oleh karena masyarakat berpartisipasi langsung, maka pembangunan yang direncanakan menjadi lebih tepat sasaran. Selain itu perencanaan partisipatif merupakan perwujudan pembangunan dari, oleh, dan untuk penduduk setempat.
Salah satu bentuk rencana jangka panjang Dusun Serut dari bidang transportasi adalah perencanaan parkir. Perencanaan ini dilakukan untuk menghindari konflik horizontal yang mungkin terjadi akibat makin terbatasnya ketersediaan lahan parkir di masa depan. Dengan memperhatikan proyeksi penduduk dan potensi kunjungan ke dusun, dibuat juga pengaturan arah kendaraan untuk mewujudkan sirkulasi transportasi yang lebih lancar. Dusun Serut juga memiliki perencanaan mitigasi bencana, yang meliputi penentuan lokasi titik kumpul dan pemasangan penanda antisipasi gempa bumi.
Di tahun 2030 Indonesia diprediksi akan mengalami puncak bonus demografi, yaitu kondisi pada saat prosentase penduduk didominasi oleh usia muda dengan pertumbuhan masyarakat kelas ekonomi menengah yang cukup signifikan. Hal ini menandakan bahwa kebutuhan dan kemampuan dalam membeli rumah mengalami peningkatan. Namun, pemenuhan kebutuhan akan penyediaan perumahan masih terhambat karena adanya defisit rumah (backlog).
Untuk mengantisipasi permasalahan defisit rumah (backlog) di Dusun Serut, maka dibuatlah pendekatan karir merumah dalam pengembangan permukiman. Perencanaan karir merumah di Dusun Serut diimplementasikan melalui penyediaan berbagai pilihan rumah bagi warga setempat. Semakin banyak pilihan rumah maka akan semakin menghemat ruang yang ada. Pilihan rumah di Dusun Serut merupakan rumah vertikal, berupa apartemen maupun rumah pekarangan.
Perencanaan Dusun Serut bertujuan untuk membentuk masyarakat yang mandiri dan tidak bergantung pada bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, Dusun Serut mendirikan Sekretariat Bersama (Sekber), sebagai salah satu bentuk badan usaha milik bersama. Sekretariat Bersama memiliki berbagai bentuk usaha, di antaranya adalah pengelolaan administrasi untuk membuat laporan yang baik dan benar, manajemen sistem jejaring agar memiliki jaringan usaha yang lebih luas, dan manajemen parkir.
Sesi Diskusi
Untuk mewujudkan keberhasilan dalam mengimplementasikan SDGs di skala komunitas, maka akan lebih baik jika mendahulukan poin SDGs yang mudah untuk dicapai, salah satunya adalah pola hidup sehat. Dalam mengimplementasikan SDGs diperlukan adanya indikator dalam bentuk masterplan sehingga tujuan dan manfaat yang akan diperoleh dari pembangunan dapat lebih terukur.
Salah satu kendala desa dalam pengembangan kawasannya adalah bagaimana membentuk kemandirian dan ketidakbergantungan warga pada bantuan dan hibah dari pihak luar. Salah satu contoh baik adalah Dusun Nglanggeran, Kabupaten Guningkidul, DIY, yang mampu secara mandiri mengembangkan pariwisatanya, sehingga mendapatkan penghargaan dari ASEAN Standard. Apabila masyarakat desa sudah cukup mandiri, maka masyarakat dapat menetapkan sendiri kebijakan pembangunan desa untuk tetap mempertahankan karakter lokalnya.
Desa wisata merupakan tren pengembangan desa yang sedang diminati oleh sebagian besar aktor-aktor perencanaan desa. Faktor geografis kawasan sering menjadi kendala bagi masyarakat desa untuk berinteraksi dengan orang yang berasal dari daerah lain, sehingga mereka kerap merasa bersemangat untuk mendapatkan pengunjung. Namun, apabila tidak diikuti dengan kesiapan masyarakatnya, hal ini dapat memberikan dampak buruk terhadap perekonomian, lingkungan, dan sosial masyarakat. Di sinilah urgensi dari masterplan desa. Desa perlu memiliki pemikiran yang visioner, terus berinovasi, dan tidak mudah terlena dengan kenyamanan/kondisi saat ini. Selain itu, tahapan-tahapan dalam penyusunan masterplan dapat melatih desa untuk memiliki pandangan akan kebutuhan yang paling mendesak di masa depan. Dengan begitu, pembangunan yang dilakukan tidak hanya berorientasi pada ekonomi saja, melainkan namun juga memperhatikan potensi lokal yang dimiliki, seperti pertanian, maritim, kuliner, dan lainnya.
Saat pengembangan desa, pemerintah desa sering mengalami kesulitan untuk menemukan sumber pendapatan. Langkah awal yang bisa dilakukan yaitu menyiapkan apa saja yang dibutuhkan dalam pengembangan desanya, sehingga dapat disusun dalam bentuk daftar pembelanjaan. Daftar pembelanjaan ini dapat memberi kemudahan bagi pihak desa dan pihak pemberi bantuan untuk membuat kesepakatan. Proses kesepakatan ini dapat ditempuh melalui diskusi yang bersifat santai, menyesuaikan dengan kondisi inventaris desa. Proses ini melibatkan masyarakat untuk mencapai keputusan bersama, sehingga perlu pendekatan yang khusus. Selain itu, perlu diketahui pula rekam jejak kerja sama pihak pemberi bantuan dengan desa/kawasan lain, sehingga dapat menyusun langkah-langkah mitigasi dalam pembuatan kesepakatan.
Pada saat ingin mengajukan proposal kepada instansi pemerintahan, desa seringkali mengalami kesulitan dalam mengidentifikasikan instansi mana yang sesuai dengan program yang diajukan. Desa dapat memeriksa peraturan terkait pembentukan dan susunan perangkat daerah/susunan organisasi tata kerja (SOTK) yang ditetapkan oleh masing-masing daerah. Selain itu, desa juga perlu menerapkan appropriate technology (pemanfaatan teknologi yang sesuai) untuk menjaring koneksi seluas-luasnya.
Keputusan untuk membangun vertikal dalam perencanaan Dusun Serut telah melalui persetujuan oleh masyarakat. Hal ini telah melalui pertimbangan akan prosentase kawasan terbangun, standar-standar bangunan, dan proyeksi penduduk di masa depan. Tujuan utama dari pembangunan vertikal ini adalah untuk konservasi lahan dan penataan alokasi ruang bagi kesejahteraan bersama.
Dengan adanya kebijakan anggaran untuk desa, kini urusan desa menjadi lebih rentan terhadap intervensi politis. Untuk menghindarinya, penerapan E-Desa perlu lebih digalakkan. E-Desa merupakan integrasi sistem informasi di desa yang dapat memudahkan akses informasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam urusan desa. Transparansi E-Desa merekam urusan-urusan desa secara lebih terbuka, baik meliputi jenis-jenis kegiatan, anggaran, dan pelaku/penanggungjawabnya.