Catatan Diskusi dengan Dr. Wahyu Utami
Pembelajaran Pelestarian Kota Bersejarah di Dunia
Jum'at, 5/01/2018 19:00 WIB
Kota bersejarah merupakan salah satu bagian dari cagar budaya yang merupakan wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia. Cagar budaya memiliki peran penting dalam pemahaman maupun pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Cagar budaya dapat berupa benda, bangunan, struktur, situs, maupun kawasan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya.
Setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda dalam penataan dan pelestarian kawasan bersejarah, dan memiliki misi yang sama, yaitu untuk menjaga nilai historis dari suatu kawasan sebagai bagian dari pembangunan kota secara berkelanjutan.
Profil Pembicara
Dr. Wahyu Utami, ahli di bidang urban planning dan heritage, merupakan lulusan Teknik Arsitektur UGM, Master of Architecture UGM dan program Doktor untuk Arsitektur dan Perencanaan UGM. Dr. Wahyu Utami memulai karir profesional pada tahun 2004 dan pernah bekerja sama dengan Ausaid, JICA dan Jogja Heritage Society. Saat ini, dia sedang menekuni penelitian dalam bidang Kota Pusaka.
Materi Inti
Kota bersejarah memiliki pusat historis sebagai kawasan atau bagian kota yang memiliki nilai sejarah tinggi dengan bentuk yang asli dan merupakan pembentuk struktur kota (Papageorgeou, 1969). Setiap kota pasti memiliki sejarah dalam perkembangannya, namun tidak semua sejarah tersebut memiliki nilai. Nilai sejarah menjadi penting dalam penetapan kota pusaka karena memiliki keterkaitan dalam proses pengembangan kawasan perkotaan yang dilihat dari tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa mendatang (Rossi, 1982).
Apa perbedaan “sejarah” dan “pusaka”? “Sejarah” bermakna historis, berdasarkan waktu dan umur secara kuantitas, dan tidak mengandung nilai khusus. Sementara itu, “pusaka” bermakna heritage atau warisan, memiliki nilai/fungsi yang spesial dalam tatanan sosial kemasyarakatan dengan memaknai proses yang berjalan dalam perkembangannya. Cagar budaya merupakan bagian dari ”pusaka”, karena merupakan perwujudan pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang menggambarkan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dari waktu ke waktu. Nilai inilah yang diangkat dalam pemaknaan kota pusaka.
Heritage atau warisan memiliki nilai yang sudah seharusnya diturunkan dari generasi ke generasi, untuk mempertahankan dan melestarikan eksistensinya. Nilai-nilai tersebut menyimpan cerita, arti, dan kisah masa lalu yang dapat dijadikan pembelajaran, tentunya dengan memperhatikan relevansinya dengan masa sekarang. Di samping itu, nilai tersebut tidak hanya bersifat fisik (tangible), namun juga non-fisik (intangible).
Kota Bersejarah di Dunia
Dalam upaya membentuk relevansi nilai-nilai heritage, segi fisik sebuah bangunan bersejarah perlu disesuaikan dengan kondisi ekonomi-sosial di masa kini. Salah satu contohnya adalah Gedung Gasometer di Vienna, Austria. Bangunan yang dulunya digunakan sebagai gudang tangki gas untuk kebutuhan kota, kini beralih fungsi menjadi pusat komersial, apartemen, dan kantor. Sisi eksteriornya mempertahankan struktur dinding bata yang lama, sementara sisi interiornya sudah menggunakan gaya arsitektur modern. Fenomena ini menggambarkan collective memory, yaitu ketika dalam suatu kawasan masih dapat dijumpai suatu kekhasan lama, baik secara fisik maupun non fisik, tanpa mengurangi nilai dan manfaatnya bagi masa depan. Sebagai fungsi edukasi, bangunan ini menyediakan ruang khusus yang menampilkan rekam jejak sejarah bangunan tersebut. Pendekatan yang digunakan pemerintah Vienna dalam pelestarian bangunan lamanya dikenal sebagai olah desain arsitektur pusaka (Infill Design). Pendekatan tersebut dilakukan untuk mengolah kembali unsur-unsur lama agar bisa digunakan untuk kepentingan saat ini. Olahan arsitektur pusaka di Gedung Gasometer diaplikasikan melalui pembangunan jembatan yang menghubungkan bangunan lama dan baru. Adanya jembatan ini memberikan efek psikologis berupa rasa aman meskipun sedang berada di dalam bangunan tua. Pengunjung yang berjalan melalui jembatan ini tidak merasakan transisi antara bangunan lama dan baru karena gaya interior bangunan yang sama. Penambahan bangunan baru ini merupakan bentuk revitalisasi oleh Pemerintah Vienna di tahun 1999; 21 tahun setelah peresmian Gedung Gasometer sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi.
Situs Arkeologis (Archeology Zone) merupakan situs yang memelihara reruntuhan bangunan lama sebagai sisa-sisa aktivitas masa lalu. Situs arkeologis di Vienna berlokasi di ruang publik, terlindungi dengan adanya ruang khusus yang dikelilingi oleh dinding pembatas. Sebaliknya di Kőln, Jerman, situs arkeologis dilindungi dalam gedung yang modern dan kondisi fisiknya baik. Peninggalan fisik masa lalu yang dibungkus dalam konsep fisik modern menjadikannya menarik. Tersedia pula papan informasi yang menceritakan pembelajaran-pembelajaran terkait politik, peperangan, dan sistem keamanan kota, menyerupai konsep museum.
Kawasan Pusaka juga mempertimbangkan cultural landscape heritage (lansekap warisan budaya). Cultural landscape heritage adalah lanskap yang menunjukkan adanya interaksi antara manusia sebagai pelaku dan lingkungan dari waktu ke waktu (ICOMOS, 2004). Schonbrunn Palace di Austria yang merupakan kawasan istana warisan budaya yang bersifat publik, juga memaksimalkan taman. Taman tersebut tidak hanya untuk memenuhi estetika maupun fungsi hijau kawasan, melainkan juga sebagai bagian pelestarian warisan budaya. Terdapat pula kegiatan ekonomi di dalam area tersebut.
Kawasan pusaka juga perlu menyediakan fungsi edukasi. Di Wachau, Austria, hampir semua selasar gedung bersejarah menampilkan informasi sejarah kawasan di dindingnya. Dengan demikian, pengunjung tidak hanya melalui suatu ruang begitu saja, namun juga mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru di dalamnya.
Negara-negara di Asia memiliki keunggulan dalam pelestarian kebudayaannya. Selain menonjolkan kawasan bersejarah dari segi fisik, Jepang juga menguatkan sisi budayanya untuk meningkatkan kegiatan perekonomian.
Kota Bersejarah di Indonesia
Karakter kawasan yang bergaya arsitektural Eropa yang dipertahankan di Indonesia menjadi salah satu bentuk apresiasi terhadap karya seni dan arsitektur, tidak melulu tentang peringatan memori pada masa kolonial. Meskipun demikian, setiap daerah memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan kawasan bersejarah sebagai upaya membangun citra sejarahnya sendiri.
Dukungan pemerintah terhadap pelestarian kota bersejarah dan bangunan cagar budaya menjadi salah satu hal krusial, termasuk dalam kebijakan pengembangan dan tata ruang kota. Upaya pelestarian bangunan bersejarah tidak selalu berbentuk bantuan dana atau alokasi anggaran, namun dapat diwujudkan melalui pengurangan pajak, subsidi, dan profit sharing antara pemerintah dan pemangku kepentingan lain. Bantuan anggaran dari pemerintah dapat dimaksimalkan melalui pengaturan alokasi pajak yang disesuaikan dengan kebutuhan pelestarian bangunan.
Penanganan multidisipliner dibutuhkan karena pelestarian membutuhkan integrasi antar pihak. Salah satu bentuk komitmen dalam pelestarian ini adalah melalui Program Penataan dan Pelestarian Kawasan Pusaka oleh Kementerian PUPR. Partisipasi masyarakat terhadap pelestarian cagar budaya juga merupakan hal yang penting dalam pemeliharaan dan investasi. Pelibatan lintas sektor dalam pemanfaatan bangunan bersejarah perlu ditingkatkan, misalnya gedung bersejarah yang dapat digunakan sebagai lokasi pagelaran budaya maupun lokasi konferensi ilmiah. Oleh karena itu, perlu edukasi dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap kawasan pusaka dan cagar budaya, untuk menjaga nilai dan kelestarian kawasan bersejarah.